Renungan


Translate

"Kasepekang", Dihapuskan Saja atau Disesuaikan?

KASUS adat kasepekang kembali mencuat di Bali. Seorang warga Banjar Pakudui, Desa Pakudui, Tegalalang, Gianyar, Made Rangga dikenai sanksi kasepekang oleh banjarnya. Akibat sanksi ini, saat pengabenan ayahnya, almarhum Mangku Sunil yang juga pemangku Pura Puseh Pakudui itu, Made Rangga dikenai kewajiban membayar penanjung batu Rp 3.200.000. Kasus serupa sebelumnya juga muncul di beberapa tempat lain di Bali. Orang pun kembali membincangkan masalah kasepekang. Kerapnya kasepekang dikaitkan dengan hak untuk dikubur di kuburan desa memunculkan pemikiran untuk menghapuskan saja sanksi kasepekang dalam hukum adat Bali. Pasalnya, sanksi kasepekang yang disertai larangan mengubur di kuburan desa dinilai tidak manusiawi dan melanggar hak asasi manusia (HAM). Namun, ada juga yang memandang sanksi kasepekang masih perlu untuk dipertahankan sebagai upaya tetap menjaga kekuatan hukum adat Bali.

ISTILAH kasepekang masih sulit untuk dirunut asal-muasalnya. Peneliti hukum adat Bali, Wayan P. Windia saat berbicara dalam semiloka bertajuk "Kasepekang dalam Perspektif Hukum dan HAM" yang dilaksanakan Bali Santhi LPM Unud, Jumat (19/9) lalu, ada banyak pendapat mengenai asal-usul kata kasepekang. Kersten, seperti dikutip Windia, berasal dari kata sepek yang mengandung arti 'mempermasalahkan di hadapan orang'. Dalam Kamus Bali-Indonesia yang dikeluarkan Dinas Pendidikan Dasar Provinsi Bali disebutkan kata sepek diartikan sebagai 'kucilkan', sedangkan kasepekang sama dengan 'dikucilkan'. Hal yang sama juga ditemukan dalam Hasil Pesamuhan Majelis Pembina Lembaga Adat (MPLA) Provinsi Bali, 27 Februari 1997.
Pendapat lain tentang kasepekang dikemukakan oleh Wayan Koti Cantika. Dosen hukum adat Bali di Fakultas Hukum Unud ini mengemukakan kasepekang berasal dari kata sepi ikang yang mempunyai arti 'tidak diajak bicara' atau 'dikucilkan'. Dalam konteks sanksi adat, menurut Koti Cantika, kasepekang berarti masih diakui keberadaannya sebagai warga, tetapi dikucilkan dari berbagai aktivitas banjar adat atau desa adat.
"Kasepekang itu artinya di-tengilin (tidak diajak bicara) dan tidak diikutsertakan dalam saurah-arih kegiatan suka duka adat. Tapi masih punya hak seperti krama adat lainnya. Berbeda halnya dengan kanorayang yang artinya pipil-nya dikembalikan atau diberhentikan sebagai krama adat," beber Koti Cantika.
Namun kenyataannya, antara kasepekang dan kanorayang selama ini kerap dianggap sama. Kedua istilah itu juga disamakan artinya dengan kaeladang, kamenengang, tan polih arah-arahan, kagedongin, kapuikin gumi, kapuikin banjar, kapuikin desa atau pun tan polih suaran kulkul.
Kasepekang pun menjadi istilah yang mengerikan dan ditakuti orang Bali. Penyebabnya, kasepekang selalu disertai dengan adanya larangan penguburan jenazah. Padahal, hasil Pesamuhan Majelis Pembina Lembaga Adat Daerah Tingkat I Bali tanggal 27 Februari 1997 tentang Pedoman Pelaksanaan Penanjung Batu sudah menentukan, krama desa adat yang dikenakan pamidanda kanorayang (pengucilan, penyisihan, skorsing) tidak dikenakan penanjung batu bila menggunakan setra, karena statusnya masih sebagai krama desa adat. Penanjung batu hanya dikenakan untuk krama yang diberhentikan. Hanya memang, krama yang kanorayang tidak mendapat bantuan banjar (tan polih penyanggran banjar), tidak mendapat menggunakan kentongan (tan polih suaran kulkul), dan tidak mendapat pemberitahuan (tan polih arah-arahan). Bersembahyang ke pura milik desa adat juga masih boleh tetapi wajib melakukan penyuakan atau nyuwaka (pemberitahuan) terlebih dulu kepada prajuru desa adat
Kendati sudah ada pedoman dari MPLA, toh masing-masing desa adat melaksanakan sanksi adat dengan caranya sendiri. Kasepekang disertai larangan penguburan jenazah umumnya tetap menjadi pilihan.
Karena itu, Majelis Desa Pakraman Bali mengeluarkan Keputusan Nomor 01/Kep/Psm 2/MDP Bali/X/2007 tertanggal 2007 yang menyatakan, "Penjatuhan sanksi adat kasepekang dan kanorayang, dilarang sementara, sampai adanya rumusan yang memadai mengenai pengertian dan tatacara mengenai penjatuhan sanksi adat tersebut, yang berlaku bagi semua desa pakraman di Bali".
Memang, kasepekang sebagai sanksi adat belum dilengkapi dengan hukum acara. Karenanya, bagaimana pelaksanaan sanksi itu juga masih belum jelas. Bahkan, kerap kali kasepekang dikenakan tanpa memberikan kesempatan orang yang dikenai untuk membela diri. Kerap kali karena briuk siu.
"Kalau briuk siu itu sama dengan diktator mayoritas," kata Koti Cantika.
Windia berpandangan sanksi adat yang terbukti menjadi sorotan berbagai pihak karena dianggap tidak sesuai dengan perkembangan zaman dan HAM seperti sanksi adat kasepekang sebaiknya ditinggalkan atau disesuikan sehingga lebih menjamin tercapainya tujuan pengenaan sanksi adat, yaitu mengembalikan keseimbangan dalam masyarakat dan menciptakan kasukertan sekala-niskala (kedamaian lahir bathin).
Selain itu, perangkat pimpinan (prajuru) desa perlu mengadakan perubahan orientasi dalam menegakkan hukum adat (awig-awig desa). Penegakan awig-awig tidak lagi harus bersikukuh pada interpretasi teks awig-awig atau kuna dresta (kebiasaan yang diwarisi secara turun-temurun), melainkan lebih berorientasi pada konteks, manfaat dan senantiasa memperhatikan norma agama Hindu.

(*) Diposkan oleh I Made Sujaya

sumber : http://pojok-bali.blogspot.com/2008/11/kasepekang-dihapuskan-saja-atau.html

Artikel Terkait

No comments:

Post a Comment

Boleh berkomentar panjang lebar, silahkan!Tulisan ini mungkin sinis tapi mudah-mudahan bisa memberi pengertian dan kesadaran untuk lebih mencintai Agama,Tanah Air, Bangsa dan Nusantara. Mencintai Pancasila dan Bhinneka Tunggal Ika Tan Hana Darma Mangrwa, budaya serta peninggalan-peninggalan leluhur seperti Candi-candi, Pura, Puri, Purana ataupun yang lainnya.