Renungan


Translate

Akibat Pindah Agama Menurut HINDU

Om Swastiastu...

Pindah agama kadang juga disebabkan kurang peduli orang tua terhadap anak-anaknya terutama yang kurang mengetahui dan memahami tentang HINDU. Ini banyak terjadi di nusantara ini terutama bagi anak gadis yang di ambil non Hindu, tapi tidak menutup kemungkinan juga dari laki-laki Hindu berpindah ke lain hati dengan alasan berbagai macam yang mungkin kalian sudah tahu sendiri. 
Prinsip predana ikut purusa disalah artikan. Jika anak perempuan harus ikut suami walau suami beragama bukan Hindu. Padahal yang dimaksud adat bahwa istri ikut suami adalah bukan agamanya melainkan mengikuti adat yang masih berdasarkan Hindu.


Untuk itu saya akan membahas di dalam blog ini akibat berpindah agama, yang mungkin dapat bisa memberikan pencerahan dalam hati kalian wahai ' generasi Muda Hindu Nusantara ' . Banyak sekali kejadian kejadian saya temukan setelah berpindah agama malah menjelek-jelek kan agamanya yang terdahulu dengan mengganggap keyakinannya yang sekarang "Lebih Benar" tanpa tau akibat dari perpindahannya itu.
Read More...

BEKERJA Menurut HINDU

I GN Nitya Santhiarsa

“Bekerjalah demi kewajibanmu, bukan demi hasil perbuatan itu, jangan sekali pahala menjadi motifmu dalam bekerja, jangan pula hanya berdiam diri tidak bekerja”-Bhagawadgita II.47

“Bekerjalah seperti apa yang telah ditentukan, sebab bekerja lebih baik daripada tidak bekerja, dan bahkan tubuh pun tidak berhasil terpelihara jika tanpa bekerja”-Bhagawadgita III.8

“Seperti orang bodoh yang bekerja karena keterikatan atas kerja mereka, demikianlah orang yang pandai bekerja tanpa kepentingan pribadi (tanpa pamrih) dan bekerja untuk kesejahteraan manusia dan memelihara ketertiban sosial “Bhagawadgita III-25

”Mereka mempersembahkan semua kerjanya kepada Brahman dan, bekerja tanpa motif keinginan apa-apa, mereka tak terjamah oleh dosa, laksana daun teratai tak basah oleh air” Bhagawadgita V-10

Keempat sloka suci di atas menjadi prinsip dasar ajaran Karma Yoga atau bekerja menurut Hindu, yakni bagaimana umat Hindu menjalani hidup yang semestinya dan memenuhi segala kebutuhan hidupnya agar hidup di dunia secara sejahtera (jagadhita) dan menikmati kebahagiaan. Kegiatan pokok manusia selama hidupnya adalah beristirahat (termasuk tidur) dan bekerja (bekerja dalam hal ini meliputi berbagai aktifitas seperti beribadah, belajar, dan berusaha), dimana pada umumnya sepertiga waktu untuk istirahat dan duapertiganya untuk bekerja. 


Bagi umat Hindu, bekerja adalah kewajiban (swadharma), bekerja adalah suatu keharusan, baik itu karena memang perintah dari Tuhan maupun karena tuntutan untuk kelangsungan hidup di dunia. Jika ada yang menghindari bekerja padahal dia sanggup misalnya menjadi pengangguran atau hidup bermalas-malasan berarti dia berkhianat kepada perintah Tuhan dan menelantarkan potensi dirinya, sehingga menjadi manusia yang membebani lingkungannya. Lebih parahnya lagi, hidup menganggur dan malas merupakan pintu gerbang menuju kejahatan, kenapa demikian? Itu karena pikiran orang yang menganggur mudah dirasuki oleh kekuatan sadripu dan saptatimira sehingga tidak mampu lagi mengendalikan hawa nafsu serta mudah tergoda melakukan kejahatan.

Lebih jelas lagi, sesuai dengan keempat sloka di atas, bekerja yang diwajibkan adalah: pertama, bekerja untuk Tuhan, bekerja adalah ibadah, dan bekerja adalah suatu persembahan kepada Tuhan; kedua, bekerja tanpa pamrih atau bekerja tanpa kepentingan pribadi; dan ketiga, bekerja tidak terikat pada hasil kerja dan pahala; kemudian, keempat, bekerja untuk kesejahteraan manusia dan memelihara ketertiban sosial. Jadi ada empat macam prinsip bekerja yang diwajibkan dalam ajaran Hindu, dimana empat prinsip ini merupakan satu kesatuan, tidak dapat dipisahkan.

Mari kita bahas satu persatu, pertama, bekerja untuk Tuhan, atau bekerja sebagai persembahan kepada Tuhan. Yang dimaksud dengan ini adalah bekerja sungguh-sungguh dengan sebaik-baiknya dan dengan seluruh kemampuan seperti halnya kerja seorang maestro menghasilkan karya masterpiece atau monumental, karena Tuhan adalah Maha Baik yang hanya menerima persembahan yang baik dan benar. Bekerja adalah bagian dari beribadah, seperti sembahyang, bekerja adalah kewajiban setiap manusia, bahkan bekerja adalah upaya memenuhi panggilan Tuhan dan menjalankan perintah dan kehendak-Nya. Meskipun sibuk dan fokus pada pekerjaan namun tidak pernah lupa kepada Tuhan, seperti ditunjukkan dengan sebelum dan sesudah bekerja selalu ingat mengucapkan doa permohonan dan puji syukur.

Bekerja tanpa pamrih, bekerja seperti ini sama seperti di atas, yaitu sebagai konskuensi kerja merupakan bentuk persembahan kepada Tuhan, seperti halnya melakukan yajna maka bekerja harus didasarkan niat yang tulus ikhlas, tanpa pamrih, tidak merasa terpaksa, namun karena memang senang melakukannya, sesuai dengan keahlian dan kemampuan, serta menyadari manfaat pekerjaannya baik bagi dirinya maupun orang lain. Bekerja tanpa kepentingan pribadi maksudnya bekerja bukan karena dorongan hawa nafsu dan egoisme semata namun untuk menjaga martabat atau harga diri serta untuk memperoleh eksistensi diri karena dibutuhkan oleh orang banyak.

Bekerja tanpa terikat pahala, hal ini juga kosekuensi dari kerja sebagai persembahan kepada Tuhan, maka kita sadar bahwa Tuhan itu Maha Tahu dan Maha Kasih, Beliau pasti membalas perbuatan baik dengan pahala baik yang berlimpah, dan membalas perbuatan jahat dengan hukuman yang setimpal, mekanisme ini sudah merupakan kepastian dimana mekanisme ini disebut dengan hukum karmapala. Sadar dan meyakini tentang hal ini, maka setiap orang tidak usah terlalu sibuk memikirkan atau berhitung pahala sebagai hasil bekerja, misalnya selalu berpikir untung rugi dalam melakukan perbuatan baik, dalam berbisnis. Model berpikir ini tepat, namun kurang tepat jika diterapkan dalam relasi sosial dan kemanusiaan. Setiap manusia diharapkan menggunakan logika, rasa dan kebijaksanaan dalam menyelesaikan suatu urusan.

Selanjutnya, bekerja untuk kesejahteraan semua (sarvodaya menurut versi Gandhi), di atas sudah disebutkan bekerja bukan untuk kepentingan pribadi, jadi buat kepentingan siapa? Jawabannya jelas, bekerja untuk kepentingan semua, kepentingan bersama, kepentingan umum, kepentingan rakyat, kepentingan kemanusiaan dan tentunya kepentingan Dharma. Mengapa demikian? Itu karena keadilan, ketertiban dan kedamaian sangat lekat dengan kebersamaan, kesetaraan, keseluruhan, dan kemanusiaan, dimana keadilan, ketertiban dan kedamaian adalah kondisi idaman setiap orang dan kesejahteraan dan kebahagiaan hanya dapat terwujud dimana keadilan, ketertiban dan kedamaian tercipta terlebih dulu. Inilah hubungan bekerja tanpa kepentingan pribadi dan bekerja untuk kesejahtraan semua. Kepentingan pribadi tidak selalu sejalan dengan kepentingan semua, jadi kepentingan pribadi bisa jadi suatu saat merusak upaya untuk mewujudkan kesejahteraan dan kebahagiaan.

Umat Hindu di Bali terutama yang menjalankan Karma Marga Yoga sekarang ini mengalami persoalan dilematis akibat perubahan pola masyarakat, dari masyarakat agraris menuju masyarakat industri, yaitu terkait dengan persoalan manajemen waktu dan manajemen keuangan. Pada masyarakat yang agraris, umumnya waktu kerja seragam mengikuti pola kerja atau musim, teratur dan porsinya lebih kecil dibandingkan waktu istirahat. Kita lihat waktu kerja kaum petani, mereka bekerja di siang hari, waktu kerja teratur berulang dengan pola yang sama serta fleksibel penerapannya, rata-rata mereka bekerja sekitar 8-10 jam perhari. Jadi hanya sepertiga waktu harian dan sisanya adalah waktu untuk istirahat yang dapat digunakan untuk beribadah, kegiatan sosial dan urusan keluarga. Sedangkan pada masyarakat industri, waktu kerja lebih ketat dan tepat waktu, waktu kerja lebih bervariasi bisa siang bisa malam, bahkan waktu libur pun menjadi waktu kerja, serta waktu kerja per hari meningkat tajam menjadi dua pertiga bagian dan sisanya untuk istirahat. Jadi porsinya terbalik, waktu kerja porsinya lebih besar dari waktu istirahat.

Kebudayaan Bali berkembang karena waktu luang yang cukup tersedia dalam pola masyarakat agraris, dan ketika memasuki era industri terjadi guncangan (shock) pada tradisi atau kebiasaan orang Bali dalam bekerja maupun dalam beribadah. Selama ini ada kesan di kalangan orang non Bali bahwa di Bali itu banyak libur, karena orang Bali mengikuti dua sistem kalender sekaligus yaitu kalender nasional dan kalender Bali. Kalender nasional memiliki waktu libur demikian kalender Bali memiliki waktu libur sehingga jumlah waktu libur di Bali lebih banyak dibandingkan waktu libur nasional. Belum lagi permohonan ijin tidak masuk kerja karena melakukan kegiatan yajna dan ada undangan menghadiri karya yajna. Untuk meluruskan pandangan miring ini, maka orang Bali harus segera mengamalkan ajaran Karma Yoga di atas, karena ajaran ini sangat adaptif baik dengan pola masyarakat agraris maupun masyarakat industri. Kata kuncinya adalah bekerja (sesuai ajaran karma yoga) adalah beribadah. Ini mampu menghilangkan dualisme yang bertentangan antara bekerja dan beribadah. Selama ini kebanyakan orang Bali memisahkan antara kepentingan kerja dan kepentingan beribadah, sehingga alokasi waktupun dibuat berbeda, padahal bisa disinergikan menjadi satu kesatuan.

Untuk masalah ritual yajna, berusahalah mengatur waktu keduanya, mungkin sulit mengatur waktu kerja, sehingga aturlah waktu upacara yajna agar dilaksanakan di luar jam kerja dengan berpatokan pada padewasan (hari baik) yang diyakini. Demikian juga pelaksanaannya diusahakan singkat dan padat asalkan sesuai dengan tatwa, susila dan tradisi yang ada. Jadi berusahalah seminimal mungkin minta ijin tidak bekerja berkaitan dengan ritual yajna.

Kemudian tentang manajemen uang, biaya hidup makin lama makin mahal, sedangkan uang makin sulit didapatkan, maka persaingan semakin meningkat dan banyak orang akhirnya menjadi kecanduan kerja. Di samping itu menyebabkan banyak orang bersikap pragmatis, bekerja demi uang atau ujung-ujungnya duit. Jarang ada orang yang mau kerja gotong royong, kerja sosial atau ngayah , semua diukur dengan uang, semua bantuan ada upahnya, lebih parahnya makin banyak orang yang tidak peduli bagaimana cara mendapatkan uang yang halal, tidak peduli lagi sumber uang darimana, apakah dari perbuatan yang baik atau dari hasil kejahatan, yang penting dapat uang banyak! Kemudian, uang yang diperoleh ternyata cukup banyak dibelanjakan untuk gaya hidup konsumtif, pamer kemewahan dan bahkan untuk kegiatan negatif seperti mabuk-mabukan, prostitusi dan konsumsi narkoba. Fenomena ini adalah cikal bakal rusaknya moral masyarakat secara luas dan masiv, sukar sekali memperbaiki kondisi masyarakat yang seperti ini! Untuk mengatasi hal ini carilah pekerjaaan yang halal, hendaknya uang dikelola dengan bijak, hiduplah sederhana dan hemat sekaligus penuh kasih dan dermawan, sehingga harta milik terjaga dan berkembang dengan baik. Om, Namo Siva Budha ya namah swaha!
(I GN Nitya Santhiarsa, Ketua Forum Peduli Dharma, staf dosen Universitas Udayana).
Read More...

Bhisma dan Rasa Nasionalisme

Dari : Luh Made Sutarmi

Om Swastiastu

Saya menampilkan seorang Tokoh dalam Mahabrata yang terkenal rasa Nasionalisme, Beliau adalah BHISMA. untuk mari kita Simak Semoga bisa memberikan manfaat utk Negeri kita ini.


Bhisma dalam perbaringan, dikitari anak panah. Matanya mulai kabur, namun tajam menatap Hastina. Pergantian penguasa telah terjadi. Kini Yudistira telah diangkat menjadi Raja Hastina yang baru. Duryodana dan Sakuni telah musnah karena otaknya dibebani oleh pikiran penuh korupsi dan kekuasaan yang ingin mengambil hak orang lain. Otak demikian, telah lama diracuni oleh simpton-simpton yang meresahkan. Dan dibutuhkan tantangan kognitif untuk membersihkannya.
Saat ini, ketika tantangan kognitif makin tinggi dan resep jitu untuk meningkatkan daya otak masih terus dicari, sebagian mencoba mendapatkan daya konsentrasi dan motivasi melalui pendekatan tradisional dan modern. Nikotin dan kafein juga sempat disinggung dalam laporan Newsweek selain stimulan seperti Adderall dan Ritalin. Dua produk terakhir diciptakan untuk meningkatkan level dopamin otak. Ini cairan yang melahirkan motivasi dan perasaan dihargai.
Read More...