OM Swastyastu,
--- Ya Tuhan, semoga Engkau selalu memberikan perlindungan ---
Banyak
gadis yang lebih memilih pacar ketimbang keluarga. Kendati keluarga tak
merestui, ia akhirnya menikah dengan lelaki pujaan. Tapi sesungguhnya
ia tak sepenuhnya yakin akan pilihan itu. Ia masih berharap, ayah, ibu,
keluarga besar, kelak akan melunak/ "Kalau nanti kami beranak pinak,
ayah dan ibu pasti akan menerima aku kembali, karena mereka selalu
kangen pada cucu." Begitu biasanya para gadis itu meyakinkan diri,
betapa suatu saat kehangatan keluarga besar akan ia nikmati kembali.
--- Ya Tuhan, semoga Engkau selalu memberikan perlindungan ---
Banyak
gadis yang lebih memilih pacar ketimbang keluarga. Kendati keluarga tak
merestui, ia akhirnya menikah dengan lelaki pujaan. Tapi sesungguhnya
ia tak sepenuhnya yakin akan pilihan itu. Ia masih berharap, ayah, ibu,
keluarga besar, kelak akan melunak/ "Kalau nanti kami beranak pinak,
ayah dan ibu pasti akan menerima aku kembali, karena mereka selalu
kangen pada cucu." Begitu biasanya para gadis itu meyakinkan diri,
betapa suatu saat kehangatan keluarga besar akan ia nikmati kembali.
Tak seorang pun sudi terlempar dari keluarga yang berpuluh tahun
memberinya cinta dan kehangatan. Tak seorang pun sungguh-sungguh berani
dibuang dari keluarga. Tapi, alam selalu memberi jalan bagi keluarga itu
untuk bersatu kembali. Kisah-kisah tragis gadis yang terbuang dari
lingkungan keluarga karena memilih menikah dengan lelaki pilihan, namun
tak direstui keluarga, terjadi di semua bangsa di dunia. Kisah seperti
itu dialami oleh keluarga kaya dan miskin, keluarga bangsawan dan
orang-orang kebanyakan. Kendati kisah itu terjadi berulang-ulang, selalu
saja menarik perhatian, dan tak bosan-bosan orang menggunjingkannya.
Di SIngaraja, kisah itu dialami oleh Nyoman Rai Srimben, ketika ia
memutuskan menerima elusan cinta R. Soekeni, seorang gurudari Blitar,
Jawa TImur, yang mengajar di SD No. 1 Banjar Paketan, Kelurahan Paket
Agung, Singaraja. Oleh gejolak cinta yang berkobar dan keyakinan meniti
hidup bersama ke masa depan, mereka sepakat kawin lari.
Keluarga Srimben tentu murka, karena gadis-gadis mereka sepantasnya
dipetik oleh lanang yang berasal dari clan yang sama. Mereka tidak
mengenal kawin ke luar. Tapi, Srimben, lewat bimbingan Soekeni, telah
melakukan pendobrakan. Srimben rela meninggalkan Bali, ikut suaminya
pindah ke tanah Jawa. Ia masih menyimpan hasrat, suatu hari kembali
untuk mohon maaf, memperbaiki hubungan keluarga, melalui upacara melaku
pelih (mohon maaf karena bersalah), dilanjutkan upacara melepeh (menyapu
duka hati), diteruskan dengan melali-lali (berkunjung), sebuah upacara
pembebasan bagi kedua mempelai dari beban rasa bersalah.
Kedua
keluarga besar di Bali dan Blitar semakin akrab ketika 6 Juni 1901
Srimben melahirkan "putra sang fajar", Soekarno, yang kemudian menjadi
Presiden Indonesia. Dulu, Srimben "dibuang" oleh keluarga, kini ia acap
menerima kunjungan keluarga Baler Agung di Blitar. I sering diminta
untuk memberi nasihat, karena dianggap sebagai bukan perekmpuan biasa
yang melahirkan seorang proklamator kemerdekaan. Keluarga besar Baler
AGung, tempat Srimben lahir dan dibesarkan, selalu menyempatkan diri
untuk beranjangsana ke Blitar, mengunjungi Srimben dan mengharapkan ia
memberi wejangan.
Di kalangan kerabat Baler Agung hingga kini
masih beredar nasihat-nasihat Srimben. Kepada keluarganya yang datang ke
Blitar, ia selalu meminta untuk merenungkan arti tindakan hidup
sehari-hari. "Pilihlah jalan terbaik, dan kalu itu niatmu, silahkan
jalani dengan baik," begitu biasanya ia menyampaikan wejangan.
Wejangannya yang kedua, seperti dituturkan kembali oleh Gede pastika,
salah seorang keluarga Baler Agung, jangan sekali-sekali menjual tanah
warisan untuk ngaben. Kalau terpaksa jual tanah, gunakanlah untuk biaya
pendidikan. Dua pesan itu selalu menjadi kenangan bagi orang-orang yang
pernah menyambangi Srimben di Blitar. Pesan pertama adalah pesan yang
berlaku umum, untuk siapa saja, tak peduli ia berasal dari bangsa mana
pun. Pesan kedua merupakan pesan istimewa, ditujukan untuk umat Bali
yang beragama Hindu.
Srimben sering menerima kunjungan kerabat
Baler Agung di tahun-tahun usai perang kemerdekaan, setelah suaminya
meninggal 8 Mei 1945. Lontaran nasihat agar jangan menjual tanah untuk
ngaben, tentu ia sampaikan karena sering menyaksikan orang Bali
menyelenggarakan ngaben dari hasil menjual tanah. Sejak dulu hingga
kini, masih acap terjadi umat yang menjual tanah warisan dengan alasan
untuk biaya mengabenkan kakek, nenek, ayah atau ibu. Tanah yang dijual
memberikan uang berpuluh juta hingga ratusan juta rupiah, padahal uang
uang yang digunakan untuk ngaben kurang dari seperlimanya. Kemana
perginya sisa uang? Biasanya sisa uang itu pergi ke dealer mobil atau
motor, sebagian jalan-jalan ke tempat judi tajen, yang lain pergi ke
swalayan dan aml.
Upacara Ngaben
Menjual tanah warisan buat ngaben sering
menjadi jalan pintas untuk menikmati langsung harta leluhur. Proses
penjualan akan semakin cepat jika keluarga tersebut tediri dari beberapa
saudara laki. Mereka berharap uang sisa penjualan setelah dipakai
ngaben bisa mereka bagi. Toh, akhirnya tanah waris pasti mereka bagi.
Tak heran, jika muncuk kesan, orang Bali lebih gesit menjual tanah ketimbang membeli..
OM Shanti Shanti Shanti OM
--- Ya Tuhan, Semoga Damai di Hati, Damai di Dunia, Damai untuk selamanya ---
Penerbit Buku Kompas, November 2011
PT. Kompas Media Nusantara.
Jl. Palmerah Selatan 26-28
Jakarta 10270
e-mail: buku@kompas.com
Di SIngaraja, kisah itu dialami oleh Nyoman Rai Srimben, ketika ia memutuskan menerima elusan cinta R. Soekeni, seorang gurudari Blitar, Jawa TImur, yang mengajar di SD No. 1 Banjar Paketan, Kelurahan Paket Agung, Singaraja. Oleh gejolak cinta yang berkobar dan keyakinan meniti hidup bersama ke masa depan, mereka sepakat kawin lari.
Keluarga Srimben tentu murka, karena gadis-gadis mereka sepantasnya dipetik oleh lanang yang berasal dari clan yang sama. Mereka tidak mengenal kawin ke luar. Tapi, Srimben, lewat bimbingan Soekeni, telah melakukan pendobrakan. Srimben rela meninggalkan Bali, ikut suaminya pindah ke tanah Jawa. Ia masih menyimpan hasrat, suatu hari kembali untuk mohon maaf, memperbaiki hubungan keluarga, melalui upacara melaku pelih (mohon maaf karena bersalah), dilanjutkan upacara melepeh (menyapu duka hati), diteruskan dengan melali-lali (berkunjung), sebuah upacara pembebasan bagi kedua mempelai dari beban rasa bersalah.
Kedua keluarga besar di Bali dan Blitar semakin akrab ketika 6 Juni 1901 Srimben melahirkan "putra sang fajar", Soekarno, yang kemudian menjadi Presiden Indonesia. Dulu, Srimben "dibuang" oleh keluarga, kini ia acap menerima kunjungan keluarga Baler Agung di Blitar. I sering diminta untuk memberi nasihat, karena dianggap sebagai bukan perekmpuan biasa yang melahirkan seorang proklamator kemerdekaan. Keluarga besar Baler AGung, tempat Srimben lahir dan dibesarkan, selalu menyempatkan diri untuk beranjangsana ke Blitar, mengunjungi Srimben dan mengharapkan ia memberi wejangan.
Di kalangan kerabat Baler Agung hingga kini masih beredar nasihat-nasihat Srimben. Kepada keluarganya yang datang ke Blitar, ia selalu meminta untuk merenungkan arti tindakan hidup sehari-hari. "Pilihlah jalan terbaik, dan kalu itu niatmu, silahkan jalani dengan baik," begitu biasanya ia menyampaikan wejangan.
Wejangannya yang kedua, seperti dituturkan kembali oleh Gede pastika, salah seorang keluarga Baler Agung, jangan sekali-sekali menjual tanah warisan untuk ngaben. Kalau terpaksa jual tanah, gunakanlah untuk biaya pendidikan. Dua pesan itu selalu menjadi kenangan bagi orang-orang yang pernah menyambangi Srimben di Blitar. Pesan pertama adalah pesan yang berlaku umum, untuk siapa saja, tak peduli ia berasal dari bangsa mana pun. Pesan kedua merupakan pesan istimewa, ditujukan untuk umat Bali yang beragama Hindu.
Srimben sering menerima kunjungan kerabat Baler Agung di tahun-tahun usai perang kemerdekaan, setelah suaminya meninggal 8 Mei 1945. Lontaran nasihat agar jangan menjual tanah untuk ngaben, tentu ia sampaikan karena sering menyaksikan orang Bali menyelenggarakan ngaben dari hasil menjual tanah. Sejak dulu hingga kini, masih acap terjadi umat yang menjual tanah warisan dengan alasan untuk biaya mengabenkan kakek, nenek, ayah atau ibu. Tanah yang dijual memberikan uang berpuluh juta hingga ratusan juta rupiah, padahal uang uang yang digunakan untuk ngaben kurang dari seperlimanya. Kemana perginya sisa uang? Biasanya sisa uang itu pergi ke dealer mobil atau motor, sebagian jalan-jalan ke tempat judi tajen, yang lain pergi ke swalayan dan aml.
Upacara Ngaben
OM Shanti Shanti Shanti OM
--- Ya Tuhan, Semoga Damai di Hati, Damai di Dunia, Damai untuk selamanya ---
No comments:
Post a Comment
Boleh berkomentar panjang lebar, silahkan!Tulisan ini mungkin sinis tapi mudah-mudahan bisa memberi pengertian dan kesadaran untuk lebih mencintai Agama,Tanah Air, Bangsa dan Nusantara. Mencintai Pancasila dan Bhinneka Tunggal Ika Tan Hana Darma Mangrwa, budaya serta peninggalan-peninggalan leluhur seperti Candi-candi, Pura, Puri, Purana ataupun yang lainnya.