Sumber : www.indonesi a.faithfreedom. org/forum/ viewtopic. php?t=4737
Tuanku Rao: Teror Islam Mazhab Hambali di Tanah Batak
oleh: Batara R. Hutagalung
Pernah kah anda mendengar AJARAN LANGIT dan AJARAN BUMI...???
jika sudah tau kami tidak memberikan penjelasan lagi tapi kalo yang belum silakan baca ini Agama Langit dan Agama Bumi: Sebuah Dikotomi
Ini lah Sejarahnya
Perang Paderi (Ada yang berpendapat kata ini berasal dari Pidari di
Sumatera Barat, dan ada yang berpendapat kata Paderi berasal dari
kata Padre, bahasa Portugis, yang artinya pendeta, dalam hal ini
adalah ulama) di Sumatera Barat berawal dari pertentangan antara
kaum adat dengan kaum ulama. Sebagaimana seluruh wilayah di Asia
Tenggara lainnya, sebelum masuknya agama Islam, agama yang dianut
masyarakat di Sumatera Barat juga agama Buddha dan Hindu. Sisa-sisa
budaya Hindu yang masih ada misalnya sistem matrilineal (garis ibu),
yang mirip dengan yang terdapat di India hingga sekarang. Masuknya
agama Islam ke Sumatera Utara dan Timur, juga awalnya dibawa oleh
pedagang-pedagang dari Gujarat dan Cina.
Setelah kembalinya beberapa tokoh Islam dari Mazhab Hambali yang
ingin menerapkan alirannya di Sumatera Barat, timbul pertentangan
antara kaum adat dan kaum ulama, yang bereskalasi kepada konflik
bersenjata. Karena tidak kuat melawan kaum ulama (Paderi), kaum adat
meminta bantuan Belanda, yang tentu disambut dengan gembira. Maka
pecahlah Perang Paderi yang berlangsung dari tahun 1816 sampai 1833.
Selama berlangsungnya Perang Paderi, pasukan kaum Paderi bukan hanya
berperang melawan kaum adat dan Belanda, melainkan juga menyerang
Tanah Batak Selatan, Mandailing, tahun 1816 - 1820 dan kemudian
mengIslamkan Tanah Batak selatan dengan kekerasan senjata, bahkan di
beberapa tempat dengan tindakan yang sangat kejam.
Sebelum masuknya agama Islam dan Kristen ke Tanah Batak, selain agama
asli Batak yaitu Parmalim, seperti di hampir di seluruh Nusantara, agama yang berkembang di Sumatera Utara adalah agama Hindu dan Buddha. Sedangkan di Sumatera Barat pada abad 14 berkembang aliran Tantra Çaivite (Shaivite) Mahayana dari agama Buddha, dan hingga tahun 1581 Kerajaan Pagarruyung di Minangkabau masih beragama Hindu.
Agama Islam yang masuk ke Mandailing dinamakan oleh penduduk setempat
sebagai Silom Bonjol (Islam Bonjol) karena para penyerbunya datang
dari Bonjol. Seperti juga di Jawa Timur dan Banten rakyat setempat
yang tidak mau masuk Islam, menyingkir ke utara dan bahkan akibat
agresi kaum Paderi dari Bonjol, tak sedikit yang melarikan diri
sampai Malaya.
Penyerbuan Islam ke Mandailing berawal dari dendam keturunan marga
Siregar terhadap dinasti Singamangaraja dan seorang anak hasil
incest (hubungan seksual dalam satu keluarga) dari keluarga
Singamangaraja X.
Ketika bermukim di daerah Muara, di Danau Toba, Marga Siregar sering
melakukan tindakan yang tidak disenangi oleh marga-marga lain,
sehingga konflik bersenjatapun tidak dapat dihindari. Raja Oloan Sorba
Dibanua, kakek moyang dari Dinasti Singamangaraja, memimpin penyerbuan
terhadap pemukiman Marga Siregar di Muara. Setelah melihat kekuatan
penyerbu yang jauh lebih besar, untuk menyelamatkan anak buah dan
keluarganya, peminpin marga Siregar, Raja Porhas Siregar meminta Raja
Oloan Sorba Dibanua untuk melakukan perang tanding -satu lawan satu-
sesuai tradisi Batak. Menurut tradisi perang tanding Batak, rakyat
yang pemimpinnya mati dalam pertarungan satu lawan satu tersebut,
harus diperlakukan dengan hormat dan tidak dirampas harta bendanya
serta dikawal menuju tempat yang mereka inginkan.
Dalam perang tanding itu, Raja Porhas Siregar kalah dan tewas di
tangan Raja Oloan Sorba Dibanua. Anak buah Raja Porhas ternyata tidak
diperlakukan seperti tradisi perang tanding, melainkan diburu oleh
anak buah Raja Oloan sehingga mereka terpaksa melarikan diri ke
tebing-tebing yang tinggi di belakang Muara, meningggalkan keluarga
dan harta benda. Mereka kemudian bermukim di dataran tinggi Humbang.
Pemimpin Marga Siregar yang baru, Togar Natigor Siregar mengucapkan
sumpah, yang diikuti oleh seluruh Marga Siregar yang mengikat untuk
semua keturunan mereka, yaitu: Kembali ke Muara untuk membunuh Raja
Oloan Sorba Dibanua dan seluruh keturunannya.
Dendam ini baru terbalas setelah 26 generasi, tepatnya tahun 1819,
ketika Jatengger Siregar –yang datang bersama pasukan Paderi, di
bawah pimpinan Pongkinangolngolan (Tuanku Rao)- memenggal kepala
Singamangaraja X, keturunan Raja Oloan Sorba Dibanua, dalam penyerbuan
ke Bakkara, ibu kota Dinasti Singamangaraja.
Ibu dari Pongkinangolngolan adalah Gana Sinambela, putri dari
Singamangaraja IX sedangkan ayahnya adalah Pangeran Gindoporang
Sinambela adik dari Singamangaraja IX. Gindoporang dan Singamangaraja
IX adalah putra-putra Singamangaraja VIII. Dengan demikian,
Pongkinangolngolan adalah anak hasil hubungan gelap antara Putri Gana
Sinambela dengan Pamannya, Pangeran Gindoporang Sinambela.
Gana Sinambela sendiri adalah kakak dari Singamangaraja X. Walaupun
terlahir sebagai anak di luar nikah, Singamangaraja X sangat mengasihi
dan memanjakan keponakannya. Untuk memberikan nama marga, tidak
mungkin diberikan marga Sinambela, karena ibunya bermarga Sinambela.
Namun nama marga sangat penting bagi orang Batak, sehingga
Singamangaraja X mencari jalan keluar untuk masalah ini.
Singamangaraja X mempunyai adik perempuan lain, Putri Sere Sinambela,
yang menikah dengan Jongga Simorangkir, seorang hulubalang. Dalam
suatu upacara adat, secara pro forma Pongkinangolngolan "dijual"
kepada Jongga Simorangkir, dan Pongkinangolngolan kini bermarga
Simorangkir.
Namun kelahiran di luar nikah ini diketahui oleh 3 orang Datu
(tokoh spiritual) yang dipimpin oleh Datu Amantagor Manurung. Mereka
meramalkan, bahwa Pongkinangolngolan suatu hari akan membunuh
pamannya, Singamangaraja X. Oleh karena itu, Pongkinangolngolan harus
dibunuh.
Sesuai hukum adat, Singamangaraja X terpaksa menjatuhkan hukuman mati
atas keponakan yang disayanginya. Namun dia memutuskan, bahwa
Pongkinangolngolan tidak dipancung kepalanya, melainkan akan
ditenggelamkan di Danau Toba. Dia diikat pada sebatang kayu dan
badannya dibebani dengan batu-batu supaya tenggelam.
Di tepi Danau Toba, Singamangaraja X pura-pura melakukan pemeriksaan
terakhir, namun dengan menggunakan keris pusaka Gajah Dompak ia
melonggarkan tali yang mengikat Pongkinangolngolan, sambil menyelipkan
satu kantong kulit berisi mata uang perak ke balik pakaian
Pongkinangolngola. Perbuatan ini tidak diketahui oleh para Datu,
karena selain tertutup tubuhnya, juga tertutup tubuh Putri Gana
Sinambela yang memeluk dan menangisi putra kesayangannya.
Tubuh Pongkonangolngolan yang terikat kayu dibawa dengan rakit ke
tengah Danau dan kemudian di buang ke air. Setelah berhasil melepaskan
batu-batu dari tubuhnya, dengan berpegangan pada kayu
Pongkinangolngolan berhasil mencapai sungai Asahan, di mana kemudian
di dekat Narumonda, ia ditolong oleh seorang nelayan, Lintong
Marpaung.
Setelah bertahun-tahun berada di daerah Angkola dan Sipirok,
Pongkinangolngolan memutuskan untuk pergi ke Minangkabau, karena
selalu kuatir suatu hari akan dikenali sebagai orang yang telah
dijatuhi hukuman mati oleh Raja Batak.
Di Minangkabau ia mula-mula bekerja pada Datuk Bandaharo Ganggo
sebagai perawat kuda. Pada waktu itu, tiga orang tokoh Islam Mazhab
Hambali, yaitu Haji Miskin, Haji Piobang dan Haji Sumanik baru kembali
dari Mekkah dan sedang melakukan penyebaran Mazhab Hambali di
Minangkabau, yang menganut aliran Syi'ah. Haji Piobang dan Haji
Sumanik pernah menjadi pewira di pasukan kavaleri Janitsar Turki.
Gerakan mereka mendapat dukungan dari Tuanku Nan Renceh, yang
mempersiapkan tentara untuk melaksanakan gerakan Mazhab Hambali,
termasuk rencana untuk mengislamkan Mandailing.
Tuanku Nan Renceh yang adalah seorang teman Datuk Bandaharo Ganggo,
mendengar mengenai nasib dan silsilah dari Pongkinangolngolan. Ia
memperhitungkan, bahwa Pongkinangolngolan yang adalah keponakan
Singamangaraja X dan sebagai cucu di dalam garis laki-laki dari
Singamangaraja VIII, tentu sangat baik untuk digunakan dalam rencana
merebut dan mengIslamkan Tanah Batak. Oleh karena itu, ia meminta
kawannya, Datuk Bandaharo agar menyerahkan Pongkinangolngolan
kepadanya untuk dididik olehnya.
Pada 9 Rabiu'ulawal 1219 H (tahun 1804 M), dengan syarat-syarat
Khitanan dan Syahadat, Pongkinangolngolan diislamkan dan diberi nama
Umar Katab oleh Tuanku Nan Renceh. Nama tersebut diambil dari nama
seorang Panglima Tentara Islam, Umar Chattab. Namun terselip juga asal
usul Umar Katab, karena bila dibaca dari belakang, maka akan terbaca:
Batak!
Penyebaran Mazhab Hambali dimulai tahun 1804 dengan pemusnahan
keluarga Kerajaan Pagarruyung di Suroaso, yang menolak aliran baru
tersebut. Hampir seluruh keluarga Raja Pagarruyung dipenggal
kepalanya oleh pasukan yang dipimpin oleh Tuanku Lelo, yang nama
asalnya adalah Idris Nasution. Hanya beberapa orang saja yang dapat
menyelamatkan diri, di antaranya adalah Yang Dipertuan Arifin Muning
Alamsyah yang melarikan diri ke Kuantan dan kemudian meminta bantuan
Belanda. Juga putrinya, Puan Gadis dapat menyelamatkan diri, dan pada
tahun 1871 menceriterakan kisahnya kepada Willem Iskandar.
Umar Katab alias Pongkinangolngolan Sinambela kembali dari Mekkah dan
Syria tahun 1815, di mana ia sempat mengikuti pendidikan kemiliteran
pada pasukan kavaleri janitsar Turki. Oleh Tuanku Nan Renceh ia
diangkat menjadi perwira tentara Paderi dan diberi gelar Tuanku Rao.
Ternyata Tuanku Nan Renceh menjalankan politik divide et impera
seperti Belanda, yaitu menggunakan orang Batak untuk menyerang Tanah
Batak.
Penyerbuan ke Tanah Batak dimulai pada 1 Ramadhan 1231 H
(tahun 1816 M), dengan penyerbuan terhadap benteng Muarasipongi yang
dipertahankan oleh Marga Lubis. 5.000 orang dari pasukan berkuda
ditambah 6.000 infanteri meluluhlantakkan benteng Muarasipongi, dan
seluruh penduduknya dibantai tanpa menyisakan seorangpun. Kekejaman
ini sengaja dilakukan dan disebarluaskan untuk menebarkan teror dan
rasa takut agar memudahkan penaklukkan. Setelah itu, satu persatu
wilayah Mandailing ditaklukkan oleh pasukan Paderi, yang dipimpin
oleh Tuanku Rao dan Tuanku Lelo, yang adalah putra-putra Batak
sendiri. Selain kedua nama ini, ada sejumlah orang Batak yang telah
masuk Islam, ikut pasukan Paderi menyerang Tanak Batak, yaitu Tuanku
Tambusai (Harahap), Tuanku Sorik Marapin (Nasution), Tuanku
Mandailing (Lubis), Tuanku Asahan (Mansur Marpaung), Tuanku
Kotapinang (Alamsyah Dasopang), Tuanku Daulat (Harahap), Tuanku
Patuan Soripada (Siregar), Tuanku Saman (Hutagalung) , Tuanku Ali
Sakti (Jatengger Siregar), Tuanku Junjungan (Tahir Daulay) dan Tuanku
Marajo (Harahap).
Penyerbuan terhadap Singamangaraja X di Benteng Bakkara, dilaksanakan
tahun 1819. Orang-orang Siregar Salak dari Sipirok dipimpin oleh
Jatengger Siregar ikut dalam pasukan penyerang, guna memenuhi sumpah
Togar Natigor Siregar dan membalas dendam kepada keturunan Raja Oloan
Sorba Dibanua, yaitu Singamangaraja X. Jatengger Siregar menantang
Singamangaraja untuk melakukan perang tanding. Walaupun sudah berusia
lanjut, namun Singamangaraja tak gentar dan menerima tantangan
Jatengger Siregar yang masih muda. Duel dilakukan dengan menggunakan
pedang di atas kuda.
Duel yang tak seimbang berlangsung tak lama. Singamangaraja kalah dan
kepalanya dipenggal oleh pedang Jatengger Siregar. Terpenuhi sudah
dendam yang tersimpan selama 26 generasi. Kepala Singamangaraja X
ditusukkan ke ujung satu tombak dan ditancapkan ke tanah. Orang-orang
marga Siregar masih belum puas dan menantang putra-putra
Singamangaraja X untuk perang tanding. Sebelas putra-putra
Singamangaraja memenuhi tantangan ini, dan hasilnya adalah 7 – 4 untuk
kemenangan putra-putra Singamangaraja. Namun setelah itu, penyerbuan
terhadap Benteng Bakkara terus dilanjutkan, dan sebagaimana di
tempat-tempat lain, tak tersisa seorangpun dari penduduk Bakkara,
termasuk semua perempuan yang juga tewas dalam pertempuran.
Penyerbuan pasukan Paderi terhenti tahun 1820, karena berjangkitnya
penyakit kolera dan epidemi penyakit pes. Dari 150.000 orang tentara
Paderi yang memasuki Tanah Batak tahun 1818, hanya tersisa sekitar
30.000 orang dua tahun kemudian. Sebagian terbesar bukan tewas di
medan petempuran, melainkan mati karena berbagai penyakit.
Untuk menyelamatkan sisa pasukannya, tahun 1820 Tuanku Rao bermaksud
menarik mundur seluruh pasukannya dari Tanah Batak Utara, sehingga
rencana pengIslaman seluruh Tanah Batak tak dapat diteruskan. Namun
Tuanku Imam Bonjol memerintahkan agar Tuanku Rao bersama pasukannya
tetap di Tanah Batak, untuk menghadang masuknya tentara Belanda.
Ketika keadaan bertambah parah, akhirnya Tuanku Rao melakukan
pembangkangan terhadap perintah Tuanku Imam Bonjol, dan memerintahkan
sisa pasukannya keluar dari Tanah Batak Utara dan kembali ke Selatan.
Enam dari panglima pasukan Paderi asal Batak, yaitu Tuanku Mandailing,
Tuanku Asahan, Tuanku Kotapinang, Tuanku Daulat, Tuanku Ali Sakti dan
Tuanku Junjungan, tahun 1820 memberontak terhadap penindasan asing
dari Bonjol/Minangkabau dan menanggalkan gelar Tuanku yang dipandang
sebagai gelar Minangkabau. Bahkan Jatengger Siregar hanya menyandang
gelar tersebut selama tiga hari. Mereka sangat marah atas perilaku
pasukan Paderi yang merampok dan menguras Tanah Batak yang telah
ditaklukkan. Namun hanya karena ingin balas dendam kepada
Singamangaraja, Jatengger Siregar menahan diri sampai terlaksananya
sumpah Togar Natigor Siregar dan ia behasil membunuh Singamangaraja X.
Mansur Marpaung (Tuanku Asahan) dan Alamsyah Dasopang (Tuanku
Kotapinang) dengan tegas menyatakan tidak mau tunduk lagi kepada
Tuanku Imam Bonjol dan Tuanku Nan Renceh, dan kemudian mendirikan
kesultanan/kerajaan sendiri. Marpaung mendirikan Kesultanan Asahan
dan mengangkat dirinya menjadi sultan, sedangkan Dasopang mendirikan
Kerajaan Kotapinang, dan ia menjadi raja.
Tuanku Rao tewas dalam pertempuran di Air Bangis pada 5 September
1821, sedangkan Tuanku Lelo (Idris Nasution) tewas dipenggal
kepalanya dan kemudian tubuhnya dicincang oleh Halimah Rangkuti,
salah satu tawanan yang dijadikan selirnya.
Berdasarkan cerita di atas kita mulai berpikir kedepannya sperti apa? Tapi lihat lah sekarang Indonesia dari SUMATERA DAN JAWA...bencana Tiada Akhir
ini jelas merupakan Ramalan DAN Pastu dari orang-orang zaman dulu..yang sedikit menjadi kenyataan, kenapa saya bilang sedikit karena ini baru awal...!!!
KARMA adalah buah perbuatan yang akan dipetiknya sendiri, dimana ajaran langit merasa selalu di atas tanpa melihat Ajaran BUMI...yang kenyataannya Bumi sendiri berguncang menjadi PRALAYe...bagi mereka sendiri...
Sumber Blog: http://semeton.blogspot.com/2007/04/penyebaran-agama-langit.html
Renungan
Translate
PENYEBARAN AGAMA LANGIT DI NUSANTARA
4 comments:
Boleh berkomentar panjang lebar, silahkan!Tulisan ini mungkin sinis tapi mudah-mudahan bisa memberi pengertian dan kesadaran untuk lebih mencintai Agama,Tanah Air, Bangsa dan Nusantara. Mencintai Pancasila dan Bhinneka Tunggal Ika Tan Hana Darma Mangrwa, budaya serta peninggalan-peninggalan leluhur seperti Candi-candi, Pura, Puri, Purana ataupun yang lainnya.
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
Tulisannya mantap bli. .Semua fakta memang diputarbalikan dgn ekstrim .Arca2 hindu dalam candi di katakan terpenggal krena bencana,pdhal di rusak secara sengata. .Di seputar lapindo brantas konon dulu juga adalah pusat kerajaan majapahit. . Jadi sekarang majapahit mengambil haknya kembali. .Oya postnya panjang neh. . Potong aja pake readmore .Di blog ku ada tipsnya,atau pake post editor yg baru dgn kode 'jump break' terimakasih
ReplyDeleteterima kasih, apa nama blognya?
ReplyDeletekok ngga di pasang aja disini...
Makin hari membaca blog ini semakin hari kesadaran dan kekuatan semakin terasa,,,
ReplyDeleteada satu fakta yg pernah Truna denger dari Ibu Dewi Durga ( dlm Wujud Parwati ) saat tangkil ke tabanan.
Bahwa dahulu agama hindu di curi kitabnya dan di salin dengan dirinya sendiri dengan mengarang semua namanya sendir namun alurnya sama dengan kita. akibat dari keegoanya untuk menjadikan dirinya seorang raja yg ingin menjadi brahmana.
dulu arab merupakan agama hindu aliran siwa dengan kekuatanya sbg sang Prajapai. sehingga tegal penangsaran yg di arab merupakan gurun pasir. dan masih banyak lainya.
di ceritakan juga oleh ibu tentang isi dari tempat sucinya yg tidak boleh di lihat, terdapat lingga siva yg bentuknya tidak seperti lingga biasa melainkan lingga yg besar spt tiang.
ini Truna katakan dari sesuhunan Ibu Dewi Durga ( sbg Parwati ) yg maha pengasi dan Penyayang sakti Siva.
ada juga setelah saya membaca suatu opini hindu tentang kisah seorang Abraham yg mungkin ada hubungan dgnkisah Trune Bali diatas, asal mula abraham ini berasal dari kisah MAHABRATA ketika perang berakhir dimana semua putra Pandawa di bunuh oleh anaknya Resi Dorna, yang bernama Aswatama bergelar sebagai seorang kesatria. Nah setelah itu Larilah Aswatama ke hutan dan bersembunyi di pertapaan seorang Resi, setelah itu di kejar olah Pandawa dan Sri Kresna ke pertapaan itu sehingga arjuna dan aswatama mengeluarkan Senjata Brahmashirsha ( kalo sekarang biasa disebut NUKLIR ) Takut akan kehancuran dunia, Resi Wiyasa menyarankan keduanya untuk mengambil kembali senjata mereka. Sementara Arjuna dapat melakukannya, Aswatama tidak dapat menarik mantranya, dan diberikan pilihan untuk memilih salah satu target untuk dihancurkan. Karena dendam, Aswatama mengarahkan senjata ke rahim perempuan Pandawa - khususnya Uttari, putri Arjuna sebagai mertua (istri Abimanyu dan putri Raja Wirata). Sejak saat ini Uttara mengandung Parikesit yang belum lahir, anak Abimanyu, yang pada kelahiran akan menjadi pewaris masa depan untuk semua Pandawa bersaudara, senjata Aswatama berhasil dengan membakar janin. akhirnya Krisna mengutuk
DeleteAswatama untuk tetap mengembara dan merana dalam kepedihan, tanpa rasa cinta, kekerasan yang tiada habisnya sebagai akibat dari kejahatannya sampai akhir Kali Yuga ke daerah Barat dimana di daerah tersebut terdapat banyak kuda. Sri Krishna juga memerintahkan permata berharga yang bersinar terang di kening Aswatama yang membuatnya tidak memiliki rasa takut terhadap segala jenis senjata, penyakit, para dewa, asura dan juga manusia dilepaskan dan digantikan dengan sebuah luka yang akan membuat Aswatama menjadi sangat menderita. Dengan kesadaran sendiri akhirnya Aswatama mencongkel permata berharga tersebut, menyerahkannya seraya memohon kepada Sri Krishna agar mencabut kutukan tersebut. Sri Krishna kembali menjelaskan bahwa hal tersebut bukanlah kutukan, tetapi akibat dari penyalahgunaan kesaktian, perbuatan jahat, bejat dan kecerobohan dari Aswatama sendiri. Aswatamapun akhirnya harus mengembara ke Barat, yaitu ke daerah Timur Tengah guna menjalani hukumannya.
Beberapa kalangan memperkirakan bahwa Aswatama yang merupakan seorang Kesatria Brahmana yang kehilangan kebrahmanaannya akibat kutukan tersebut mendapat panggilan baru sebagai seorang yang bukan Brahmana. Dalam bahasa Sansekerta kata bukan atau tidak disebut sebagai “A” sehingga otomatis panggilannya menjadi “Abrahmana”. Apakah kata “Abrahmana” ini akhirnya mengalami perubahan ejaan menjadi “Abraham” yang merupakan asal muasal ketiga agama rumpun Semitik? Apakah itu artinya ada kaitan yang sangat erat antara kutukan Tuhan Yang Maha Esa Sri Krishna dengan kekerasan, kepedihan dan penderitaan berkepanjangan yang terjadi di daerah Timur Tangah? Bukankah sebagian penganut agama Abrahamik juga meyakini bahwa kekerasan yang berlangsung di sana hanya akan berakhir pada akhir jaman?
Suksme atas komentarnya...rahayu..