Oleh Thomas Reuter.
Selama 1000 tahun, kerajaan2 Hindu subur di Jawa, sampai datangnya Islam di abad ke 15. Tetapi, di tahun 1970-an, bangkit kembali sebuah gerakan Hindu yg menyebar ke seluruh kepulauan Indonesia. Agama Hindu bahkan mendapat lebih banyak pengikut di saat negara sedang menghadapi berbagai krisis, terutama di Jawa, pusat politik di Indonesia.
Berdasarkan riset etnografis atas lima kelompok masyarakat pada candi2 Hindu besar, tulisan ini menelaah sejarah politik dan dinamika sosial bangkitnya kembali agama Hindu di Jawa.
Saya tertarik pada Jawa setelah melakukan penelitian selama 10 tahun di Bali. Kebanyakan masyarakat Bali menganggap diri mereka sebagai keturunan kaum ningrat kerajaan Hindu Jawa Majapahit yang menaklukkan Bali di abad ke 14. Jumlah orang Bali yang berziarah ke kuil2 Hindu di Jawa semakin bertambah. Malah mereka sering terlibat dalam pembangunan kuil2 dan pelaksanaan ibadah Hindu baru di Jawa. Mereka juga mendominasi perwakilan kaum Hindu di taraf nasional. Dan banyak pendeta2 Hindu Jawa yang dilatih di Bali.
Selama 1000 tahun, kerajaan2 Hindu subur di Jawa, sampai datangnya Islam di abad ke 15. Tetapi, di tahun 1970-an, bangkit kembali sebuah gerakan Hindu yg menyebar ke seluruh kepulauan Indonesia. Agama Hindu bahkan mendapat lebih banyak pengikut di saat negara sedang menghadapi berbagai krisis, terutama di Jawa, pusat politik di Indonesia.
Berdasarkan riset etnografis atas lima kelompok masyarakat pada candi2 Hindu besar, tulisan ini menelaah sejarah politik dan dinamika sosial bangkitnya kembali agama Hindu di Jawa.
Saya tertarik pada Jawa setelah melakukan penelitian selama 10 tahun di Bali. Kebanyakan masyarakat Bali menganggap diri mereka sebagai keturunan kaum ningrat kerajaan Hindu Jawa Majapahit yang menaklukkan Bali di abad ke 14. Jumlah orang Bali yang berziarah ke kuil2 Hindu di Jawa semakin bertambah. Malah mereka sering terlibat dalam pembangunan kuil2 dan pelaksanaan ibadah Hindu baru di Jawa. Mereka juga mendominasi perwakilan kaum Hindu di taraf nasional. Dan banyak pendeta2 Hindu Jawa yang dilatih di Bali.
Gunung Bromo
Hal yang paling mempengaruhi gerakan ini :
1) Kebangkitan Agama Hindu dalam Konteks Sejarah dan Politik
a) Banyak orang Jawa masih mempertahankan kepercayaan warisan tradisi Hindu selama berabad-abad sambil juga memeluk Islam. Kepercayaan ini dikenal sebagai agama Jawa (kejawen) atau Islam Jawa (Islam abangan, nama yg dipakai Geertz 1960). Beberapa kelompok masyarakat terpencil masih tetap memeluk Hindu secara terbuka. Salah satu kelompok ini adalah masyarakat Hindu yang tinggal di dataran tinggi Tengger (Hefner 1985, 1990) di Jawa Timur. Orang2 ‘Hindu’ Jawa yang ditulis di laporan ini adalah mereka yang tadinya Muslim dan kemudian murtad untuk memeluk agama Hindu.
Laporan tahun 1999 yang tidak pernah diumumkan oleh Kantor Statistik Nasional Indonesia memperkirakan terdapat 100.000 orang Jawa yang secara resmi murtad atau ‘kembali lagi’ pindah dari Islam ke Hindu dalam waktu 20 tahun terakhir. Pada saat yang bersamaan, cabang organisasi Hindu (PHDI) Jawa Timur mengatakan bahwa umatnya bertambah sampai berjumlah 76.000 di tahun ini saja. Angka ini tidak sepenuhnya dapat dipercaya, dan tidak dapat pula menggambarkan besarnya kebangkitan agama Hindu di Jawa karena ini hanya berdasarkan nama agama yang tercantum di KTP dan hanya berdasarkan laporan agama resmi. Menurut pengamatan saya, banyak yang pindah agama tapi tidak melaporkan diri.
Meskipun demikian, perhitungan jumlah orang Hindu di Jawa ternyata lebih banyak daripada orang Hindu di Bali. Data yang dikumpulkan secara independen selama penelitian saya di Jawa Timur menunjukkan bahwa tingkat cepatnya proses pindah agama melesat secara dramatis selama dan setelah jatuhnya Pemerintahan Rezim Suharto di tahun 1998.
Sebelum tahun 1962, agama Hindu tidak diakui secara nasional sehingga orang2 beragama Hindu tidak bisa mencantumkan agama mereka secara resmi. [2] Permohonan pengakuan Hindu sebagai agama resmi diajukan oleh organisasi agama dari Bali dan dikabulkan di tahun 1962 demi kepentingan masyarakat Bali yang mayoritas adalah Hindu. Organisasi yang terbesar yakni Parisada Hindu Dharma Bali yang kemudian diubah menjadi PHD Indonesia (PHDI) di tahun 1964, berupaya untuk memperkenalkan Hindu secara nasional dan bukan hanya milik Bali saja (Ramstedt 1998).
Di awal tahun 70-an, orang2 Toraja Sulawesi mengambil kesempatan ini dengan memeluk agama nenek moyang mereka yang banyak dipengaruhi oleh Hindu. Masyarakat Batak Karo dari Sumatra di tahun 1977 dan masyarakat Dayak Ngaju di Kalimantan di tahun 1980 juga melakukan hal yang sama (Bakker 1995).
b) Identitas agama menjadi masalah hidup-mati saat agama Hindu memperoleh status resminya, yakni di saat terjadinya kerusuhan anti komunis di tahun 1965-66 (Beatty 1999). Orang2 yang tidak dapat menyebutkan agamanya digolongkan sebagai orang atheis dan dituduh komunis. Terlepas alasan politis ini, kebanyakan orang menganut Hindu karena juga ingin mempertahankan agama nenek moyang dan bagi masyarakat di luar Jawa, Hindu merupakan pilihan terbaik dibandingkan Islam. Sebaliknya, kebanyakan orang Jawa tidaklah melihat Hindu sebagai agama pilihan di saat itu karena kurang adanya organisasi Hindu dan juga karena takut pembalasan organisasi2 Islam besar seperti Nahdatul Ulama (NU). Anggota2 muda NU tidak hanya aktif membunuhi orang2 komunis tapi juga unsur2 Jawa Kejawen atau anti Islam yang banyak dianut Partai Nasionalis Islam milik Sukarno selama tahap pertama pembunuhan masal di jaman itu (Hefner 1987). Demi keslamatan nyawa, para pengikut Kejawen terpaksa mengumumkan diri mereka sebagai Muslim.
Pada awal Orde Baru, Presiden Suharto tidak mengikuti paham agama apapun. Baru di tahun 1990-an, Suharto mulai mendekati organisasi2 Islam. Awalnya Suharto adalah pembela aliran Kejawen yang gigih, tapi ia lalu mengajukan tawaran2 kepada kelompok Islam di masa itu karena berkurangnya dukungan masyarakat dan militer terhadap rezimnya. Tindakannya yang paling jelas tampak pada dukungannya atas Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia (ICMI), yang anggotanya secara terbuka menginginkan negara dan masyarakat Islam Indonesia (Hefner 1997).
Kekuatiran mulai tumbuh tatkala ICMI menjadi organisasi yang mendominasi birokrasi nasional dan melaksanakan program2 pendidikan Islam besar2an dan pembangunan mesjid2 melalui Departemen Agama dan sekali lagi menyerang aliran dan penganut Kejawen. Pada waktu yang sama, terjadi pembunuhan2 oleh ekstrimis Muslim atas orang2 yang dituduh sebagai dukun yang melakukan pengobatan tradisional Kejawen. (Ingat serentetan kasus pembunuhan dukun santet oleh ‘ninja’ yang terjadi di desa2 terpencil di Jawa?)
Pengalaman2 pahit dan penindasan2 membuat para penganut Kejawen takut dan juga benci. Dalam wawancara yang dilakukan di tahun 1999, orang2 yang baru saja murtad dan memeluk Hindu di Jawa Tengah dan Timur mengaku bahwa mereka sebenarnya tidak keberatan dengan identitas Islam. Tapi mereka sakit hati saat harus meninggalkan tradisi Hindu Jawa dengan tidak lagi melakukan upacara2 tertentu yang sudah menjadi bagian hidup mereka. Untuk menyalurkan hasrat politik, banyak penganut Kejawen dan pemeluk baru agama Hindu yang menjadi anggota partai politik Megawati Sukarnoputri. Sumber2 keterangan dari kelompok ini menyatakan bahwa kembalinya mereka kepada agama Majapahit (Hindu) merupakan kebanggaan nasional dan ini diwujudkan melalui pandangan politik baru yang penuh rasa percaya diri..
2) Kebangkitan Agama Hindu dalam Konteks Sosial dan Ekonomi
Ciri2 umum yang tampak di masyarakat baru Hindu di Jawa adalah kecenderungan untuk berkumpul di pura2 yang baru saja dibangun atau candi2 kuno yang dinyatakan kembali sebagai tempat ibadah masyarakat Hindu. Satu dari pura2 Hindu yang baru dibangun di Jawa Timur adalah
Contoh, Candi Mandaragiri Semeru Agung, di bukit dekat Gunung Semeru. Ketika candi ini selesai dibangun pd bulan Juli 1992 dengan bantuan keuangan Bali, hanya segelintir keluarga setempat secara resmi memeluk agama Hindu. Penelitian di bulan Desember 1999 menunjukkan masyarakat Hindu lokal berkembang menjadi lebih dari 5.000 keluarga.
Perpindahan agama besar2an yang sama juga terjadi di daerah sekitar Candi Agung Blambangan yang merupakan candi baru yang dibangun di daerah sisa2 kerajaan Blambangan, pusat kekuatan politis Hindu terakhir di Jawa. Yang tidak kalah pentingnya adalah Candi Loka Moksa Jayabaya (di desa Menang dekat Kediri), di mana raja dan petinggi Hindu, Jayabaya, dipercaya mencapai moksa (kemerdekaan spiritual).
Gerakan Hindu lain yang juga mulai tampak terjadi di daerah sekitar Candi Pucak Raung (di Jawa TImur) yang baru saja dibangun. Daerah ini disebut dalam sastra Bali sebagai tempat di mana begawan Hindu, Maharishi Markandeya, mengumpulkan pengikutnya untuk melakukan perjalanan ke Bali dan dengan itu membawa agama Hindu ke Bali di abad 5 M.
Kebangkitan agama Hindu juga tampak di daerah Candi Hindukuno di Trowulan dekat Mojokerto. Daerah ini dikenal sebagai ibukota kerajaan Hindu Majapahit. Gerakan Hindu setempat berusaha untuk mendapatkan ijin menggunakan candi yang baru saja digali sebagai tempat ibadah agama Hindu. Candi ini akan dipersembahkan bagi Gajah Mada, perdana menteri Majapahit yang berhasil mengembangkan kerajaan Hindu kecil itu sampai meliput wilayah dari Sabang sampai Merauke.
Meskipun terdapat lebih banyak pertentangan dari kelompok Islam di Jawa Tengah daripada di Jawa Timur, masyarakat Hindu ternyata juga berkembang di Jawa Tengah (Lyon 1980). Contohnya adalah di Klaten di dekat Candi Prambanan.
Candi Prambanan
Selain itu candi2 besar Hindu juga dapat mendatangkan kemakmuran baru bagi masyarakat setempat. Selain mengundang biaya bagi pekerja2, pelebaran dan perbaikan candi itu sendiri, mengalirnya peziarah Bali yang terus menerus ke candi2 nasional itu menciptakan suatu industri baru bagi penduduk setempat. Di sepanjang jalan utama menuju Candi Semeru terdapat sederetan hotel dan toko2 yang menawarkan sesajen siap pakai, angkutan, dan makanan bagi para pendatang. Pada hari2 raya besar, puluhan ribu peziarah akan datang setiap hari. Peziarah yang memberi sumbangan dana besar bagi candi besar itu juga ternyata menarik perhatian penduduk setempat. Kemakmuran ekonomi orang2 Bali juga membuat penduduk setempat berpendapat bahwa ‘budaya Hindu ternyata lebih banyak mendatangkan keberhasilan pariwisata internasional dibandingkan budaya Islam’.
3) Kebangkitan Hindu sebagai Pemenuhan Ramalan Utopia (negara impian)
Pihak pendukung dan penentang agama Hindu biasanya menghubungkan bangkitnya agama Hindu secara tiba2 di Jawa dengan ramalan terkenal Sabdapalon dan Jayabaya. Dalam ramalan itu dinyatakan beberapa utopia dan bencana alam dahsyat, meskipun pengertian akan ramalan ini berbeda antara kedua pihak.
Harapan terpenuhinya ramalan itu merupakan cermin ketidakpuasan yang semakin membesar atas Pemerintahan Suharto yang korup dan tangan besi di tahun 1990-an sampai berakhir di tahun 1998, yang diikuti dengan demonstrasi mahasiswa di berbagai kota di Jawa sejalan dengan krisis ekonomi Asia. Krisis politik dan ekonomi yang lebih besar yang terus berlangsung di Indonesia saat ini juga semakin menumbuhkan harapan itu.
Presiden Abdurahman Wahid, presiden Indonesia pertama yang terpilih secara demokratis, ternyata mengundang banyak kritik karena pada masanya terjadi pertentangan agama, pemberontakan di Aceh dan Papua Barat dan skandal korupsi di Pemerintahan. [3] Masyarakat luas menduga ketidakstabilan politik di bawah Pemerintahan Megawati Sukarnoputri (sejak tanggal 23 Juli 2001) akan terus berlangsung. Selain itu dikhawatirkan penindasan seperti yang terjadi di jaman Suharto akan terulang lagi. Menurut penentang dan pendukung gerakan baru agama Hindu, keadaan politik yang tak menentu saat ini sesuai dengan ramalan Sabdapalon dan Jayabaya.
Menurut legenda, Sabdapalon adalah pendeta dan penasehat Brawijaya V, raja terakhir kerajaan Hindu Majapahit. Dikisahkan pula bahwa Sabdapalon mengutuk rajanya yang meninggalkan agama Hindu untuk memeluk agama Islam di tahun 1478. Sabdapalon lalu berjanji untuk kembali setelah waktu 500 tahun berlalu di masa merajalelanya korupsi politik dan bencana2 alam besar, untuk mengenyahkan Islam dari pulau Jawa dan membangkitkan kembali agama dan masyarakat Hindu Jawa.
Beberapa candi Hindu baru yang pertama dibangun di Jawa memang selesai dibangun sekitar tahun 1978, misalnya Candi Blambangan di daerah Banyuwangi. Sesuai dengan ramalan, Gunung Semeru meledak di waktu itu pula. Semua ini dianggap sebagai bukti tepatnya ramalan Sabdapalon. Pihak penentang Hindu dari agama Islam menerima prinsip ramalan itu, meskipun menafsirkannya secara berbeda. Beberapa kalangan Islam menganggap murtadin yang memeluk Hindu disebabkan karena kelemahan sesaat dalam masyarakat Islam itu sendiri, dengan menyalahkan sifat materialisme di dunia modern dan turunnya nilai2 Islami atau karena penerapan Islam yang tak murni melalui tatacara ibadat Kejawen (Soewarno 1981). Menurut pendapat mereka, ‘kembalinya Sabdapalon’ berarti ujian bagi Islam dan perlunya memurnikan dan membangkitkan kembali iman Islam.
Ramalan yang lain yang juga terkenal di seluruh Jawa dan Indonesia adalah ramalan Jayabaya. Buku tentang ramalan ini yang ditulis oleh Soesetro & Arief (1999) telah jadi best seller nasional. Ramalan Jayabaya juga seringkali didiskusikan di koran2. Ramalan2 kuno ini memang bagian dari percakapan dan diskusi sehari-hari dalam masyarakat Indonesia.
Tokoh legendaris Sri Mapanji Jayabaya berkuasa di kerajaan Kediri di Jawa Timur dari tahun 1135 sampai 1157 M (Buchari 1968:19). Dia terkenal atas usahanya menyatukan kembali Jawa setelah pecah karena kematian raja sebelumnya, Airlangga. Jayabaya juga terkenal karena keadilan dan kemakmuran kerajaannya dan karena pengabdiannya bagi kesejahteraan rakyatnya. Jayabaya dikenal sebagai titisan dewa Wishnu dan dianggap sebagai ‘ratu adil’ yakni raja yang bijaksana yang muncul di jaman edan di akhir putaran tatasurya untuk menegakkan kembali keadilan sosial, keteraturan dan keseimbangan di dunia. Banyak yang percaya waktu datangnya sang ratu adil yang baru telah dekat (seperti yang disebutkan dalam ramalan itu, “jika kendaraan2 besi bergerak sendiri tanpa kuda2 dan kapal2 berlayar menembus langit“), dan ia akan datang untuk menyelamatkan dan menyatukan Indonesia kembali setelah krisis hebat yang mengantarkan kepada awal jaman keemasan yang baru.
Dugaan terjadinya bencana besar dan utopia ini mengingatkan akan berakhirnya putaran tatasurya di masa kejayaan yang lampau untuk masuk ke jaman sekarang yang penuh kebobrokan moral, dan perlu diperbaiki kembali di masa depan dengan mengulangi kembali kejayaan di masa lampau.
Orang2 Hindu Jawa mengenang Sabdapalon dan Jayabaya dgn penuh kebanggaan karena mewakili jaman keemasan sebelum Islam. Kalangan Islam sendiri sebaliknya percaya bahwa Jayabaya itu sebetulnya adalah seorang Muslim dan Sabdapalon tidak mau masuk Islam karena saat itu dia berhadapan dengan bentuk Islam yang salah dan tidak murni lagi (Soewarno 1981). Meskipun begitu, para penelaah ramalan dari pihak Muslim dan Hindu setuju bahwa sekaranglah masa terjadinya bencana hebat. Mungkin dalam bentuk reformasi politik besar2an dan mungkin pula sebuah revolusi. Kedua belah pihak juga setuju bahwa sistem pemerintahan demokrasi yang murni hanya dapat terlaksana dengan adanya pemimpin yang bermoral sangat tinggi yang mencampurkan kesadaran demokrasi modern dengan karisma kepemimpinan tradisional.
Pengaruh ramalan Jayabaya tampak nyata pada diri masyarakat Indonesia dari berbagai kalangan dan ini tampak pula dengan kunjungan2 rahasia yang dilakukan Presiden Abdurahman Wahid (sekali sebelum dia dicalonkan untuk jadi presiden dan sekali lagi sebelum dia terpilih) sewaktu menjabat ketua NU ke candi keramat Raja Jayabaya di Bali, Pura Pucak Penulisan. [4] Setelah kunjungan pribadi malam hari di pura Hindu kuno ini, demikian menurut pengakuan pendeta2 Hindu setempat, Gus Dur berbicara dengan mereka untuk waktu lama tentang ramalan2 Jayabaya dan kedatangan kembali ratu adil.
Bukit Penulisan
———————————————————————- —
Footnotes
[1] Islam, for example, incorporated elements from the tribal traditions of Arab peoples and from Jewish and Christian texts such as the 'Old Testament'.
[2] The other four state-recognized religions (agama) are Islam, Catholicism, Protestantism, and Buddhism (mainly Indonesians of Chinese ethnicity). Unrecognized religions are categorized by the state as minor
'streams of belief' (aliran kepercayaan) or are simply treated as a part of different local 'customs and traditions' (adat).
[3] As I am writing this, parliamentary procedures have been set into motion so as to impeach President Abdurahman Wahid on allegations of his involvement in corruption scandals.
[4] Pura Pucak Penulisan is still an important regional temple, and was a state temple of Balinese kings from the eighth century AD (Reuter 1998). Many statues of Balinese kings are still found in its inner sanctum, including one depicting Airlangga's younger brother Anak Wungsu. Literary sources suggest that intimate ties of kinship connected the royal families of Bali with the dynasties of Eastern Javanese kingdoms, including Kediri. Jayabaya's predecessor Airlannga, for example, was a Balinese prince.
[5] Sometimes apocalyptic expectations can reach such a pitch that members of the movement concerned may feel a need to bring about the very cataclysm the have been predicting. The poison gas attack in Tokyo launched by Japan's AUM Shinokio sect is a recent example. It is still uncertain whether the recent bomb attacks on Javanese Christian churches over the christmas period of 2000 were the responsibility of radical religious groups, or were instigated by other political interest groups wishing to destabilize the country by inciting simmering inter-religious conflicts in Java to the same level of violence as in the troubled Molukka Province.
References
Adorno, T. W. 1978. 'Freudian Theory and the Pattern of Fascist Propaganda'. In A. Arato & E. Gebhardt (eds), The Essential Frankfurt School Reader. Oxford: Basil Blackwell.
Bakker, F. 1995. Bali in the Indonesian State in the 1990s: The religious aspect. Paper presented at the Third International Bali Studies Workshop, 3-7 July 1995.
Beatty, A. 1999. Varieties of Javanese Religion. Cambridge: Cambridge University Press.
Buchari 1968. 'Sri Maharaja Mapanji Garasakan'. Madjalah Ilmu-Ilmu Sastra Indonesia, 1968(4):1-26.
Ellingsen, P. 1999. 'Silence on Campus: How academics are being gagged as universities toe the corporate line'. Melbourne: The Age Magazine, 11.12.1999:26-32.
Fox, J. & Sathers, C. (eds) 1996. Origins, Ancestry and Alliance: Explorations in Austronesian Ethnography. Canberra: Department of Anthropology, Research School of Pacific and Asian Studies, Australian National University.
Geertz, C. 1960. The Religion of Java. Chicago: The University of Chicago Press.
Hefner, R. 1985. Hindu Javanese: Tengger Tradition and Islam. Princeton: Princeton University Press.
Hefner, R. 1987. 'The Political Economy of Islamic Conversion in Modern East Java'. In W. Roff (ed.), Islam and the Political Economy of Meaning. London: Croom Helm.
Hefner, R. 1990. The Political Economy of Mountain Java. Berkeley: University of California Press.
Hefner, R. 1997. 'Islamization and Democratization in Indonesia'. In R. Hefner & P. Horvatich (eds), Islam in an Era of Nation States: Politics and Religious Renewal in Muslim Southeast Asia. Honolulu: University of Hawaii Press.
Kaplan, M. 1995. Neither Cargo nor Cult: Ritual Politics and the Colonial Imagination in Fiji. Durham (NC): Duke University Press.
Lee, K. 1999. A Fragile Nation: The Indonesian Crisis. River Edge (N.J.): World Scientific.
Lindstrom, L. 1993. Cargo Cult: Strange Stories of Desire from Melanesia and Beyond. Honolulu: University of Hawaii Press.
Lyon, M. 1980. 'The Hindu Revival in Java". In J. Fox (ed.), Indonesia: The making of a Culture. Canberra: Research School of Pacific and Asian Studies, Australian National University.
Ramstedt, M. 1998. 'Negotiating Identity: 'Hinduism' in Modern Indonesia'. Leiden: IIAS Newsletter, 17:50.
Reuter, T. 1998. 'The Banua of CandiPucak Penulisan: A Ritual Domain in the Highlands of Bali'. Review of Indonesian and Malaysian Affairs, 32 (1):55-109.
Schwartz, H. 1987. 'Millenarianism: An overview'. In M. Eliade (ed.), The Encyclopedia of Religion, Vol. 9:521-532. New York: MacMillan.
Smelser, J. 1962. Theory of Collective Behavior. London: Routledge and Kegan Paul.
Soesetro, D. & Arief, Z. 1999. Ramalan Jayabaya di Era Reformasi. Yogyakarta: Media Pressindo.
Soewarna, M. 1981. Ramalan Jayabaya Versi Sabda Palon. Jakarta: P.T Yudha Gama.
Stewart, K. & Harding, S. 1999. 'Bad Endings: American Apocalypsis'. Annual Review of Anthropology 28:285-310.
Stewart, P.J. 2000. 'Introduction: Latencies and realizations in millennial practices'. Ethnohistory 47(1):3-27. [Special Issue on Millenarian Movements.]
Timmer, J. 2000. 'The return of the kingdom: Agama and the millennium among the Imyan of Irian Jaya, Indonesia'. . Ethnohistory 47(1):29-65.
Note: Dr Thomas Reuter is Queen Elizabeth II Research Fellow at the University of Melbourne's School of Anthropology, Geography & Environmental Studies. This paper was published in The Australian Journal of Anthropology and is being reproduced with their permission.
http://www.swaveda.com/articles.php?action=show&id=49
Sumber : http://adhiwus.wordpress.com
1) Kebangkitan Agama Hindu dalam Konteks Sejarah dan Politik
a) Banyak orang Jawa masih mempertahankan kepercayaan warisan tradisi Hindu selama berabad-abad sambil juga memeluk Islam. Kepercayaan ini dikenal sebagai agama Jawa (kejawen) atau Islam Jawa (Islam abangan, nama yg dipakai Geertz 1960). Beberapa kelompok masyarakat terpencil masih tetap memeluk Hindu secara terbuka. Salah satu kelompok ini adalah masyarakat Hindu yang tinggal di dataran tinggi Tengger (Hefner 1985, 1990) di Jawa Timur. Orang2 ‘Hindu’ Jawa yang ditulis di laporan ini adalah mereka yang tadinya Muslim dan kemudian murtad untuk memeluk agama Hindu.
Laporan tahun 1999 yang tidak pernah diumumkan oleh Kantor Statistik Nasional Indonesia memperkirakan terdapat 100.000 orang Jawa yang secara resmi murtad atau ‘kembali lagi’ pindah dari Islam ke Hindu dalam waktu 20 tahun terakhir. Pada saat yang bersamaan, cabang organisasi Hindu (PHDI) Jawa Timur mengatakan bahwa umatnya bertambah sampai berjumlah 76.000 di tahun ini saja. Angka ini tidak sepenuhnya dapat dipercaya, dan tidak dapat pula menggambarkan besarnya kebangkitan agama Hindu di Jawa karena ini hanya berdasarkan nama agama yang tercantum di KTP dan hanya berdasarkan laporan agama resmi. Menurut pengamatan saya, banyak yang pindah agama tapi tidak melaporkan diri.
Meskipun demikian, perhitungan jumlah orang Hindu di Jawa ternyata lebih banyak daripada orang Hindu di Bali. Data yang dikumpulkan secara independen selama penelitian saya di Jawa Timur menunjukkan bahwa tingkat cepatnya proses pindah agama melesat secara dramatis selama dan setelah jatuhnya Pemerintahan Rezim Suharto di tahun 1998.
Sebelum tahun 1962, agama Hindu tidak diakui secara nasional sehingga orang2 beragama Hindu tidak bisa mencantumkan agama mereka secara resmi. [2] Permohonan pengakuan Hindu sebagai agama resmi diajukan oleh organisasi agama dari Bali dan dikabulkan di tahun 1962 demi kepentingan masyarakat Bali yang mayoritas adalah Hindu. Organisasi yang terbesar yakni Parisada Hindu Dharma Bali yang kemudian diubah menjadi PHD Indonesia (PHDI) di tahun 1964, berupaya untuk memperkenalkan Hindu secara nasional dan bukan hanya milik Bali saja (Ramstedt 1998).
Di awal tahun 70-an, orang2 Toraja Sulawesi mengambil kesempatan ini dengan memeluk agama nenek moyang mereka yang banyak dipengaruhi oleh Hindu. Masyarakat Batak Karo dari Sumatra di tahun 1977 dan masyarakat Dayak Ngaju di Kalimantan di tahun 1980 juga melakukan hal yang sama (Bakker 1995).
b) Identitas agama menjadi masalah hidup-mati saat agama Hindu memperoleh status resminya, yakni di saat terjadinya kerusuhan anti komunis di tahun 1965-66 (Beatty 1999). Orang2 yang tidak dapat menyebutkan agamanya digolongkan sebagai orang atheis dan dituduh komunis. Terlepas alasan politis ini, kebanyakan orang menganut Hindu karena juga ingin mempertahankan agama nenek moyang dan bagi masyarakat di luar Jawa, Hindu merupakan pilihan terbaik dibandingkan Islam. Sebaliknya, kebanyakan orang Jawa tidaklah melihat Hindu sebagai agama pilihan di saat itu karena kurang adanya organisasi Hindu dan juga karena takut pembalasan organisasi2 Islam besar seperti Nahdatul Ulama (NU). Anggota2 muda NU tidak hanya aktif membunuhi orang2 komunis tapi juga unsur2 Jawa Kejawen atau anti Islam yang banyak dianut Partai Nasionalis Islam milik Sukarno selama tahap pertama pembunuhan masal di jaman itu (Hefner 1987). Demi keslamatan nyawa, para pengikut Kejawen terpaksa mengumumkan diri mereka sebagai Muslim.
Pada awal Orde Baru, Presiden Suharto tidak mengikuti paham agama apapun. Baru di tahun 1990-an, Suharto mulai mendekati organisasi2 Islam. Awalnya Suharto adalah pembela aliran Kejawen yang gigih, tapi ia lalu mengajukan tawaran2 kepada kelompok Islam di masa itu karena berkurangnya dukungan masyarakat dan militer terhadap rezimnya. Tindakannya yang paling jelas tampak pada dukungannya atas Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia (ICMI), yang anggotanya secara terbuka menginginkan negara dan masyarakat Islam Indonesia (Hefner 1997).
Kekuatiran mulai tumbuh tatkala ICMI menjadi organisasi yang mendominasi birokrasi nasional dan melaksanakan program2 pendidikan Islam besar2an dan pembangunan mesjid2 melalui Departemen Agama dan sekali lagi menyerang aliran dan penganut Kejawen. Pada waktu yang sama, terjadi pembunuhan2 oleh ekstrimis Muslim atas orang2 yang dituduh sebagai dukun yang melakukan pengobatan tradisional Kejawen. (Ingat serentetan kasus pembunuhan dukun santet oleh ‘ninja’ yang terjadi di desa2 terpencil di Jawa?)
Pengalaman2 pahit dan penindasan2 membuat para penganut Kejawen takut dan juga benci. Dalam wawancara yang dilakukan di tahun 1999, orang2 yang baru saja murtad dan memeluk Hindu di Jawa Tengah dan Timur mengaku bahwa mereka sebenarnya tidak keberatan dengan identitas Islam. Tapi mereka sakit hati saat harus meninggalkan tradisi Hindu Jawa dengan tidak lagi melakukan upacara2 tertentu yang sudah menjadi bagian hidup mereka. Untuk menyalurkan hasrat politik, banyak penganut Kejawen dan pemeluk baru agama Hindu yang menjadi anggota partai politik Megawati Sukarnoputri. Sumber2 keterangan dari kelompok ini menyatakan bahwa kembalinya mereka kepada agama Majapahit (Hindu) merupakan kebanggaan nasional dan ini diwujudkan melalui pandangan politik baru yang penuh rasa percaya diri..
2) Kebangkitan Agama Hindu dalam Konteks Sosial dan Ekonomi
Ciri2 umum yang tampak di masyarakat baru Hindu di Jawa adalah kecenderungan untuk berkumpul di pura2 yang baru saja dibangun atau candi2 kuno yang dinyatakan kembali sebagai tempat ibadah masyarakat Hindu. Satu dari pura2 Hindu yang baru dibangun di Jawa Timur adalah
Contoh, Candi Mandaragiri Semeru Agung, di bukit dekat Gunung Semeru. Ketika candi ini selesai dibangun pd bulan Juli 1992 dengan bantuan keuangan Bali, hanya segelintir keluarga setempat secara resmi memeluk agama Hindu. Penelitian di bulan Desember 1999 menunjukkan masyarakat Hindu lokal berkembang menjadi lebih dari 5.000 keluarga.
Perpindahan agama besar2an yang sama juga terjadi di daerah sekitar Candi Agung Blambangan yang merupakan candi baru yang dibangun di daerah sisa2 kerajaan Blambangan, pusat kekuatan politis Hindu terakhir di Jawa. Yang tidak kalah pentingnya adalah Candi Loka Moksa Jayabaya (di desa Menang dekat Kediri), di mana raja dan petinggi Hindu, Jayabaya, dipercaya mencapai moksa (kemerdekaan spiritual).
Gerakan Hindu lain yang juga mulai tampak terjadi di daerah sekitar Candi Pucak Raung (di Jawa TImur) yang baru saja dibangun. Daerah ini disebut dalam sastra Bali sebagai tempat di mana begawan Hindu, Maharishi Markandeya, mengumpulkan pengikutnya untuk melakukan perjalanan ke Bali dan dengan itu membawa agama Hindu ke Bali di abad 5 M.
Kebangkitan agama Hindu juga tampak di daerah Candi Hindukuno di Trowulan dekat Mojokerto. Daerah ini dikenal sebagai ibukota kerajaan Hindu Majapahit. Gerakan Hindu setempat berusaha untuk mendapatkan ijin menggunakan candi yang baru saja digali sebagai tempat ibadah agama Hindu. Candi ini akan dipersembahkan bagi Gajah Mada, perdana menteri Majapahit yang berhasil mengembangkan kerajaan Hindu kecil itu sampai meliput wilayah dari Sabang sampai Merauke.
Meskipun terdapat lebih banyak pertentangan dari kelompok Islam di Jawa Tengah daripada di Jawa Timur, masyarakat Hindu ternyata juga berkembang di Jawa Tengah (Lyon 1980). Contohnya adalah di Klaten di dekat Candi Prambanan.
Candi Prambanan
Selain itu candi2 besar Hindu juga dapat mendatangkan kemakmuran baru bagi masyarakat setempat. Selain mengundang biaya bagi pekerja2, pelebaran dan perbaikan candi itu sendiri, mengalirnya peziarah Bali yang terus menerus ke candi2 nasional itu menciptakan suatu industri baru bagi penduduk setempat. Di sepanjang jalan utama menuju Candi Semeru terdapat sederetan hotel dan toko2 yang menawarkan sesajen siap pakai, angkutan, dan makanan bagi para pendatang. Pada hari2 raya besar, puluhan ribu peziarah akan datang setiap hari. Peziarah yang memberi sumbangan dana besar bagi candi besar itu juga ternyata menarik perhatian penduduk setempat. Kemakmuran ekonomi orang2 Bali juga membuat penduduk setempat berpendapat bahwa ‘budaya Hindu ternyata lebih banyak mendatangkan keberhasilan pariwisata internasional dibandingkan budaya Islam’.
3) Kebangkitan Hindu sebagai Pemenuhan Ramalan Utopia (negara impian)
Pihak pendukung dan penentang agama Hindu biasanya menghubungkan bangkitnya agama Hindu secara tiba2 di Jawa dengan ramalan terkenal Sabdapalon dan Jayabaya. Dalam ramalan itu dinyatakan beberapa utopia dan bencana alam dahsyat, meskipun pengertian akan ramalan ini berbeda antara kedua pihak.
Harapan terpenuhinya ramalan itu merupakan cermin ketidakpuasan yang semakin membesar atas Pemerintahan Suharto yang korup dan tangan besi di tahun 1990-an sampai berakhir di tahun 1998, yang diikuti dengan demonstrasi mahasiswa di berbagai kota di Jawa sejalan dengan krisis ekonomi Asia. Krisis politik dan ekonomi yang lebih besar yang terus berlangsung di Indonesia saat ini juga semakin menumbuhkan harapan itu.
Presiden Abdurahman Wahid, presiden Indonesia pertama yang terpilih secara demokratis, ternyata mengundang banyak kritik karena pada masanya terjadi pertentangan agama, pemberontakan di Aceh dan Papua Barat dan skandal korupsi di Pemerintahan. [3] Masyarakat luas menduga ketidakstabilan politik di bawah Pemerintahan Megawati Sukarnoputri (sejak tanggal 23 Juli 2001) akan terus berlangsung. Selain itu dikhawatirkan penindasan seperti yang terjadi di jaman Suharto akan terulang lagi. Menurut penentang dan pendukung gerakan baru agama Hindu, keadaan politik yang tak menentu saat ini sesuai dengan ramalan Sabdapalon dan Jayabaya.
Menurut legenda, Sabdapalon adalah pendeta dan penasehat Brawijaya V, raja terakhir kerajaan Hindu Majapahit. Dikisahkan pula bahwa Sabdapalon mengutuk rajanya yang meninggalkan agama Hindu untuk memeluk agama Islam di tahun 1478. Sabdapalon lalu berjanji untuk kembali setelah waktu 500 tahun berlalu di masa merajalelanya korupsi politik dan bencana2 alam besar, untuk mengenyahkan Islam dari pulau Jawa dan membangkitkan kembali agama dan masyarakat Hindu Jawa.
Beberapa candi Hindu baru yang pertama dibangun di Jawa memang selesai dibangun sekitar tahun 1978, misalnya Candi Blambangan di daerah Banyuwangi. Sesuai dengan ramalan, Gunung Semeru meledak di waktu itu pula. Semua ini dianggap sebagai bukti tepatnya ramalan Sabdapalon. Pihak penentang Hindu dari agama Islam menerima prinsip ramalan itu, meskipun menafsirkannya secara berbeda. Beberapa kalangan Islam menganggap murtadin yang memeluk Hindu disebabkan karena kelemahan sesaat dalam masyarakat Islam itu sendiri, dengan menyalahkan sifat materialisme di dunia modern dan turunnya nilai2 Islami atau karena penerapan Islam yang tak murni melalui tatacara ibadat Kejawen (Soewarno 1981). Menurut pendapat mereka, ‘kembalinya Sabdapalon’ berarti ujian bagi Islam dan perlunya memurnikan dan membangkitkan kembali iman Islam.
Ramalan yang lain yang juga terkenal di seluruh Jawa dan Indonesia adalah ramalan Jayabaya. Buku tentang ramalan ini yang ditulis oleh Soesetro & Arief (1999) telah jadi best seller nasional. Ramalan Jayabaya juga seringkali didiskusikan di koran2. Ramalan2 kuno ini memang bagian dari percakapan dan diskusi sehari-hari dalam masyarakat Indonesia.
Tokoh legendaris Sri Mapanji Jayabaya berkuasa di kerajaan Kediri di Jawa Timur dari tahun 1135 sampai 1157 M (Buchari 1968:19). Dia terkenal atas usahanya menyatukan kembali Jawa setelah pecah karena kematian raja sebelumnya, Airlangga. Jayabaya juga terkenal karena keadilan dan kemakmuran kerajaannya dan karena pengabdiannya bagi kesejahteraan rakyatnya. Jayabaya dikenal sebagai titisan dewa Wishnu dan dianggap sebagai ‘ratu adil’ yakni raja yang bijaksana yang muncul di jaman edan di akhir putaran tatasurya untuk menegakkan kembali keadilan sosial, keteraturan dan keseimbangan di dunia. Banyak yang percaya waktu datangnya sang ratu adil yang baru telah dekat (seperti yang disebutkan dalam ramalan itu, “jika kendaraan2 besi bergerak sendiri tanpa kuda2 dan kapal2 berlayar menembus langit“), dan ia akan datang untuk menyelamatkan dan menyatukan Indonesia kembali setelah krisis hebat yang mengantarkan kepada awal jaman keemasan yang baru.
Dugaan terjadinya bencana besar dan utopia ini mengingatkan akan berakhirnya putaran tatasurya di masa kejayaan yang lampau untuk masuk ke jaman sekarang yang penuh kebobrokan moral, dan perlu diperbaiki kembali di masa depan dengan mengulangi kembali kejayaan di masa lampau.
Orang2 Hindu Jawa mengenang Sabdapalon dan Jayabaya dgn penuh kebanggaan karena mewakili jaman keemasan sebelum Islam. Kalangan Islam sendiri sebaliknya percaya bahwa Jayabaya itu sebetulnya adalah seorang Muslim dan Sabdapalon tidak mau masuk Islam karena saat itu dia berhadapan dengan bentuk Islam yang salah dan tidak murni lagi (Soewarno 1981). Meskipun begitu, para penelaah ramalan dari pihak Muslim dan Hindu setuju bahwa sekaranglah masa terjadinya bencana hebat. Mungkin dalam bentuk reformasi politik besar2an dan mungkin pula sebuah revolusi. Kedua belah pihak juga setuju bahwa sistem pemerintahan demokrasi yang murni hanya dapat terlaksana dengan adanya pemimpin yang bermoral sangat tinggi yang mencampurkan kesadaran demokrasi modern dengan karisma kepemimpinan tradisional.
Pengaruh ramalan Jayabaya tampak nyata pada diri masyarakat Indonesia dari berbagai kalangan dan ini tampak pula dengan kunjungan2 rahasia yang dilakukan Presiden Abdurahman Wahid (sekali sebelum dia dicalonkan untuk jadi presiden dan sekali lagi sebelum dia terpilih) sewaktu menjabat ketua NU ke candi keramat Raja Jayabaya di Bali, Pura Pucak Penulisan. [4] Setelah kunjungan pribadi malam hari di pura Hindu kuno ini, demikian menurut pengakuan pendeta2 Hindu setempat, Gus Dur berbicara dengan mereka untuk waktu lama tentang ramalan2 Jayabaya dan kedatangan kembali ratu adil.
Bukit Penulisan
———————————————————————- —
Footnotes
[1] Islam, for example, incorporated elements from the tribal traditions of Arab peoples and from Jewish and Christian texts such as the 'Old Testament'.
[2] The other four state-recognized religions (agama) are Islam, Catholicism, Protestantism, and Buddhism (mainly Indonesians of Chinese ethnicity). Unrecognized religions are categorized by the state as minor
'streams of belief' (aliran kepercayaan) or are simply treated as a part of different local 'customs and traditions' (adat).
[3] As I am writing this, parliamentary procedures have been set into motion so as to impeach President Abdurahman Wahid on allegations of his involvement in corruption scandals.
[4] Pura Pucak Penulisan is still an important regional temple, and was a state temple of Balinese kings from the eighth century AD (Reuter 1998). Many statues of Balinese kings are still found in its inner sanctum, including one depicting Airlangga's younger brother Anak Wungsu. Literary sources suggest that intimate ties of kinship connected the royal families of Bali with the dynasties of Eastern Javanese kingdoms, including Kediri. Jayabaya's predecessor Airlannga, for example, was a Balinese prince.
[5] Sometimes apocalyptic expectations can reach such a pitch that members of the movement concerned may feel a need to bring about the very cataclysm the have been predicting. The poison gas attack in Tokyo launched by Japan's AUM Shinokio sect is a recent example. It is still uncertain whether the recent bomb attacks on Javanese Christian churches over the christmas period of 2000 were the responsibility of radical religious groups, or were instigated by other political interest groups wishing to destabilize the country by inciting simmering inter-religious conflicts in Java to the same level of violence as in the troubled Molukka Province.
References
Adorno, T. W. 1978. 'Freudian Theory and the Pattern of Fascist Propaganda'. In A. Arato & E. Gebhardt (eds), The Essential Frankfurt School Reader. Oxford: Basil Blackwell.
Bakker, F. 1995. Bali in the Indonesian State in the 1990s: The religious aspect. Paper presented at the Third International Bali Studies Workshop, 3-7 July 1995.
Beatty, A. 1999. Varieties of Javanese Religion. Cambridge: Cambridge University Press.
Buchari 1968. 'Sri Maharaja Mapanji Garasakan'. Madjalah Ilmu-Ilmu Sastra Indonesia, 1968(4):1-26.
Ellingsen, P. 1999. 'Silence on Campus: How academics are being gagged as universities toe the corporate line'. Melbourne: The Age Magazine, 11.12.1999:26-32.
Fox, J. & Sathers, C. (eds) 1996. Origins, Ancestry and Alliance: Explorations in Austronesian Ethnography. Canberra: Department of Anthropology, Research School of Pacific and Asian Studies, Australian National University.
Geertz, C. 1960. The Religion of Java. Chicago: The University of Chicago Press.
Hefner, R. 1985. Hindu Javanese: Tengger Tradition and Islam. Princeton: Princeton University Press.
Hefner, R. 1987. 'The Political Economy of Islamic Conversion in Modern East Java'. In W. Roff (ed.), Islam and the Political Economy of Meaning. London: Croom Helm.
Hefner, R. 1990. The Political Economy of Mountain Java. Berkeley: University of California Press.
Hefner, R. 1997. 'Islamization and Democratization in Indonesia'. In R. Hefner & P. Horvatich (eds), Islam in an Era of Nation States: Politics and Religious Renewal in Muslim Southeast Asia. Honolulu: University of Hawaii Press.
Kaplan, M. 1995. Neither Cargo nor Cult: Ritual Politics and the Colonial Imagination in Fiji. Durham (NC): Duke University Press.
Lee, K. 1999. A Fragile Nation: The Indonesian Crisis. River Edge (N.J.): World Scientific.
Lindstrom, L. 1993. Cargo Cult: Strange Stories of Desire from Melanesia and Beyond. Honolulu: University of Hawaii Press.
Lyon, M. 1980. 'The Hindu Revival in Java". In J. Fox (ed.), Indonesia: The making of a Culture. Canberra: Research School of Pacific and Asian Studies, Australian National University.
Ramstedt, M. 1998. 'Negotiating Identity: 'Hinduism' in Modern Indonesia'. Leiden: IIAS Newsletter, 17:50.
Reuter, T. 1998. 'The Banua of CandiPucak Penulisan: A Ritual Domain in the Highlands of Bali'. Review of Indonesian and Malaysian Affairs, 32 (1):55-109.
Schwartz, H. 1987. 'Millenarianism: An overview'. In M. Eliade (ed.), The Encyclopedia of Religion, Vol. 9:521-532. New York: MacMillan.
Smelser, J. 1962. Theory of Collective Behavior. London: Routledge and Kegan Paul.
Soesetro, D. & Arief, Z. 1999. Ramalan Jayabaya di Era Reformasi. Yogyakarta: Media Pressindo.
Soewarna, M. 1981. Ramalan Jayabaya Versi Sabda Palon. Jakarta: P.T Yudha Gama.
Stewart, K. & Harding, S. 1999. 'Bad Endings: American Apocalypsis'. Annual Review of Anthropology 28:285-310.
Stewart, P.J. 2000. 'Introduction: Latencies and realizations in millennial practices'. Ethnohistory 47(1):3-27. [Special Issue on Millenarian Movements.]
Timmer, J. 2000. 'The return of the kingdom: Agama and the millennium among the Imyan of Irian Jaya, Indonesia'. . Ethnohistory 47(1):29-65.
Note: Dr Thomas Reuter is Queen Elizabeth II Research Fellow at the University of Melbourne's School of Anthropology, Geography & Environmental Studies. This paper was published in The Australian Journal of Anthropology and is being reproduced with their permission.
http://www.swaveda.com/articles.php?action=show&id=49
Sumber : http://adhiwus.wordpress.com
Saya dari lahir sdh Hindu. Sy bangga dgn agama yg sy anut, tapi tdk mau meremehkan agama lain. Jika mrk mau ikut hrs rela hati
ReplyDeleteJayalah Indonesiaku... Krishna tolonglah berikanlah kami pemimpin yang merupakan utusan dari-Mu yang bisa membawa Indonesiaku ini menjadi maju dan sejahtera. Dibawah kendalimu semoga semuanya menjadi kenyataan. Masa depan Indonesiaku masa depan yang cerah...
ReplyDeleteHindu Forever Until Me Death
ReplyDeleteKEMBALI MENJADI HINDU JAWA
ReplyDeleteIr. R. Yogihardjo
A. PENDAHULUAN.
Kata “Jawa” untuk membatasi lingkup wilayah sesuai dengan ruang & waktu. Sehingga dalam hal ini tidak menyoroti Hindu Bali, karena yang diupayakan dengan tulisan ini adalah menyadarkan umat dari agama lain untuk kembali ke Hindu Jawa. Jadi yang sudah Hindu tidak perlu merasa terusik oleh gagasan ini, meskipun baik juga menjadi bahan renungan. Ada pemahaman yang mutlak benar sepanjang masa, ada pemahaman yang benar hanya untuk ruang & waktu tertentu. Maka dari itu pasti beda Hindu Jawa dengan Hindu Bali, termasuk dengan yang ada di India. Bahkan di India sendiri terdapat puluhan Sekte. Guruji S.A. Bhandarkar ketika ditanya apakah Hindu perlu diseragamkan, dengan tegas menjawab “ Tidak perlu, anda tidak perlu seperti saya, silahkan tampil seperti apa adanya”. Justru inilah kelebihan Hindu dibanding dengan agama lain yang mengetrapkan syariat yang kaku tanpa memperhatikan ruang & waktu, padahal ruang & waktu (jaman) adalah ciptaan Tuhan yang perlu diikuti (kata Swami Vivekananda). Jadi tidak perlu menyoroti Hindu yang ada di Bali, karena Bali sudah mayoritas Hindu apapun bentuknya & dibanding dengan propinsi lain sudah lebih maju dalam bidang agama, ekonomi, social, budaya & spiritual, bahkan bisa menjadi contoh sebagai propinsi yang konsisten menampilkan jatidirinya.
B. KEMBALI MENJADI HINDU.
Dr. Filino Harahap, dalam kuliah Studium Generale ITB th 74, mengungkapkan dokumen diperpustakaan Negara Washington yang disusun oleh 10 Doktor terkemuka didunia, menyimpulkan bahwa Indonesia akan menjadi Negara adidaya apabila kembali pada jatidirinya. Jatidiri mencakup Kebudayaan, Adat istiadat, Kemandirian, Spiritualisme, dll nilai luhur dalam praktek kehidupan sehari hari.
Kebenaran pernyataan para ahli tsb terbukti oleh fakta bahwa Negara maju, selalu tampil dengan jatidirinya. Seperti Cina, Jepang, Thailand, Saudi Arabia & Inggris. Mereka tetap mempertahankan kebudayaannya, diforum internasional tetap tampil dengan busana nasionalnya, produk exportnya dikemas dengan bahasa & huruf nasionalnya, dll kepribadian yang melekat dalam kehidupan sehari hariannya.
Dalam pada itu banyak para ahli yang memprediksi kejayaan Indonesia dimasa mendatang, salah satunya adalah Goldman Sach mengatakan tahun 2050 Indonesia menjadi Negara maju no 7 didunia setelah China, USA, Hindia, Brasil, Mexico & Rusia. Prediksi ini sepertinya cocok dengan yang dikatakan (disabdakan) Sang Prabu Jayabaya bahwa di tahun 2000 Saka (2078 M) Nusantara menjadi Negara Adidaya. Berarti dari tahun 2050 s/d 2078 tahap demi tahap peringkat Indonesia meningkat dari no 7 menjadi no 1. Namun atas dasar pendapat para ahli tsb diatas, mustahil apabila mayoritas bangsa ini masih beragama Islam, yang faktanya menggusur budaya & nilai nilai luhur bangsa, dapat mengantarkan kemajuan bangsa. Oleh karena itu bangsa ini harus kembali ke Hindu, sebagai satu satunya agama yang dapat memelihara & mengembangkan budaya bangsa, untuk menjadi Negara Adidaya.
hidup hindu..hindu forever... tak mau pilih yang lain tetap hindu..
ReplyDeletebanggalah menjadi hindu
ReplyDeleteHINDU yg damai......
ReplyDeleteYg pening apapun agamanya ....manusia tdk boleh melanggar hukum Tuhan
ReplyDeletekunjungi blog komik wayang bernuansa budaya jawa..copy/dload kontennya..http://nawaruciwidya.blogspot.com/
ReplyDeletejangan sampai orang jawa melupakan leluhurnya Hindu atau terkutuklah dengan hidup serba kekurangan kalau melupakan leluhur
ReplyDeleteJumlah boleh sedikit.. The best quality... Banggalah jadi Hindu Indonesia
ReplyDeleteGamo budhi dimana langit dan bumi menjadi tuntunan serta semesta menjadi guru.. keep peace spt wacana sri krisna smua yg terlahir hrs kembali ke asal bgtupun peradaban ; muncul-tumbuh-berkembang-runtuh..
ReplyDeletengimpi
ReplyDeleteASTUNGKARA SELALU DAMAI SELAMANYA... SWAHA
ReplyDeleteSedikit berbagi pengalaman tidak brmaksud ap2. Tulisan ini dan ramalan2 yg ditulis sy yakini benar terjadi. Krn untuk pertama kali sy tirta yatra mengiringi pandita mpu ke solo (thn 2014), Br turun dr kapal laut dan naik bus menuju solo. Sy dikagetkan dgn.. gangguan dan sosok2 yg aneh. Dgn rasa takut dan pasrah sy sll berdoa dlm perjalan. Namun anehnya nth mengapa bayangan yg menggangu itu tampak semakin nyata dan terasa berbincang dan bicara " sy adlh seorang raja yg menguasai tanah jawa.. sy ingin sekali rakyat sy dan rakyat jawa kembali kehindu...," sy bertanya.. bagaimana mungkin tuanku itu sangat mustahil.. tp beliau menjawab.. "sadarkan mereka.. akan berbakti kpd leluhur.. sdarkan mereka akan berbakti kpd hyang widi.. dan sadarkan mereka akan berbakti kpd smua ciptaan tuhan."
ReplyDeleteSedikit berbagi pengalaman tidak brmaksud ap2. Tulisan ini dan ramalan2 yg ditulis sy yakini benar terjadi. Krn untuk pertama kali sy tirta yatra mengiringi pandita mpu ke solo (thn 2014), Br turun dr kapal laut dan naik bus menuju solo. Sy dikagetkan dgn.. gangguan dan sosok2 yg aneh. Dgn rasa takut dan pasrah sy sll berdoa dlm perjalan. Namun anehnya nth mengapa bayangan yg menggangu itu tampak semakin nyata dan terasa berbincang dan bicara " sy adlh seorang raja yg menguasai tanah jawa.. sy ingin sekali rakyat sy dan rakyat jawa kembali kehindu...," sy bertanya.. bagaimana mungkin tuanku itu sangat mustahil.. tp beliau menjawab.. "sadarkan mereka.. akan berbakti kpd leluhur.. sdarkan mereka akan berbakti kpd hyang widi.. dan sadarkan mereka akan berbakti kpd smua ciptaan tuhan."
ReplyDeleteSaudara sangat beruntung dapat menerima pewisik leluhur (selaku) raja penguasa raja. Leluhur hindu jawa ( raja hayamuruk) pernah mencatat jaman keemasan.rakyatnya sejahtera
DeleteSedikit berbagi pengalaman tidak brmaksud ap2. Tulisan ini dan ramalan2 yg ditulis sy yakini benar terjadi. Krn untuk pertama kali sy tirta yatra mengiringi pandita mpu ke solo (thn 2014), Br turun dr kapal laut dan naik bus menuju solo. Sy dikagetkan dgn.. gangguan dan sosok2 yg aneh. Dgn rasa takut dan pasrah sy sll berdoa dlm perjalan. Namun anehnya nth mengapa bayangan yg menggangu itu tampak semakin nyata dan terasa berbincang dan bicara " sy adlh seorang raja yg menguasai tanah jawa.. sy ingin sekali rakyat sy dan rakyat jawa kembali kehindu...," sy bertanya.. bagaimana mungkin tuanku itu sangat mustahil.. tp beliau menjawab.. "sadarkan mereka.. akan berbakti kpd leluhur.. sdarkan mereka akan berbakti kpd hyang widi.. dan sadarkan mereka akan berbakti kpd smua ciptaan tuhan."
ReplyDeletesampurnaning cipta reh hayuning bawana
ReplyDeletebhinneka tunggal ika tan hana dharma mangrwa
saya ingin tulisan carakan mnjadi tulisan seminasional.. kapan ya apakah harus meenggu jadi gubernur jawatengah dlu?
ReplyDeleteSaya Muslim, saya tertarik dengan agama Hindu karena Hindu menerapkan budaya asli Indonesia dalam kehidupan sehari2, sehingga saya bisa menjadi diri sendiri dengan identitas asli saya sebagai orang Indonesia, bukan orang Indonesia yang terpengaruh budaya luar, tapi apadaya saya takut murtad :(
ReplyDeleteOMG! Saya juga :( Saya muslim dan masih kelas 3 SMA tapi dua kali ke Bali membuat saya tertarik dengan agama Hindu. Saya benar-benar diambang keraguan. Saya suka banget budaya asli Indonesia. Saya sadar harusnya itulah yang menjadi jati diri orang kita tapi apa dayalah. Saya berharap saya akan kuliah di Udayana. Semoga disana saya bisa lebih dalam mempelajarinya (mempelajari ya bukan mengimani)
DeleteSetelah membaca artikel ini, Apakah kita akan melupakan leluhur kita?? Dengan tersnyum bangga menjadi ap yg bkan diri kita sesungguhnya?, leluhur kita mungkin melihat dan sedih dengn prkmbangan yg tdak bliau hrapkan, kemajuan zaman tidklah harus melupakan, tpi ingtlah kita ada krena hal yg kita mungkn lupakan itu, smua yg sudh direncakan dan dititip oleh leluhur kita pastilah hal yg sudah beliau siapkan dan renungkan semasa hidupnya..
ReplyDeleteMungkin pada masa itu yang berkuasa di Nusantara berpikir bahwa dengan memeluk Islam mereka akan tetap melakukan hal yang sama dan masih bisa menjalankan budaya mereka tapi kenyataannya malah tergerus hancur di tanah sendiri. Seandainya mereka tau itu, mungkin mereka akan menolak.
DeleteBagaimana kah caranya kembali ke hidu
DeleteBangkitkan agama nusantara.....bangkitkan pula kejayaan nusantara.. Jangan takut, ini perlombaan dalam kebaikan FASTABIQUL KHOIROT, Yang Islam tidak perlu takut hilang ummat, karena ini adalah berlomba dalam perbuatan kebaikan..... dumogi rahayu
ReplyDeleteThis comment has been removed by the author.
ReplyDeletemohon maaf tapi teory greetz tentang abangan,santri,priyayi sudah tidak relevan lagi karena banyak santri yang juga abangan, abangan yang jadi priyayi,priyayi nyantri dsb saya jawa dan ktpnya sih islam bukan orang yang taat jelasnya sayapun punya sepupu orang hindu bali dan saat saya ke bali rasanya seperti kembali ke jaman jawa kuna sebab banyak tradisi jawa yang lestari di bali bahkan lebih orgin.menurut saya mayoritas islam di jawa bukanlah islam yang radikal yang ingin menang sendiri kalo di jaman g30s saya tidak tahu namun orang jawa tak bisa dipisahkan dengan mistik tengoklah presiden presiden indonesia pasti mereka ada hubungannya dengan ilmu kebathinan jawa/kejawen gusdur sekalipun nu dia kejawen yang tidak ada unsur kejawen hanya habibie saja jadi menurutku kalo islam jawa anti kejawen tidaklah tepat disini punden,candi,pura dsb tidak ada yang berani mengusik takut kuwalat
ReplyDeleteThis comment has been removed by the author.
ReplyDeleteSy bersyukur krn dikenalkan sosok tuhan yg maha pengasih dan tidak memandang manusia berbeda" hanya karena berbeda cara memuja-Nya. Semua cinptaan-Nya sama, fenomena kasta d bali pun bukan dari hindu. Sy merasakan kebebasan berekspresi tapi penyerahan diri tetap kepada tuhan yg maha esa, mengasihi seluruh ciptaan tuhan sampai yg tak terjangkau oleh manusiapun tidak seharusnya dibenci, dikutuk dan difitnah suka menyesatkan manusia padahal manusia sendirilah yg menjerumuskan diri sendiri dalam segala hal baik dan buruk. Kmi jg sangat menghormati para leluhur. Hukum karma phala selalu lebih dapat sy terima (hidup menjalani takdir yg kita buat sendiri dari hasil perbuatan kita baik di kehidupan sekarang/sebelumnya), reinkarnasi lebih dapat sy percaya sejalan dg hukum karmaphala sehingga sy memahami bagaimana bisa orang" lahir dengan ketidakberuntungan, moksha pun lebih dapat sy terima karena jiwa kt berasal dari-Nya, mencapai mokshapun dibutuhkan ketekunan mengekang jiwa dari hal" & sifat" duniawi yg susahnya bukan main. Banyak yg dibutakan untuk menjalani hidup dengan kefanatikan & prasangka buruk yg sebenarnya musuh penutup cahaya kedamaian masuk ke dalam hati. Dlm hindu kt dibebaskan dr kefanatikan dan pikiran licik. Hindu itu universal, yoga yg salah satu cara yg pustaka hindu tawarkan untuk dapat lebih mendekatkan diri kpd tuhan dg melatih pengontrolan diri & diterapkan orang" berbagai kalangan. Walaupun hindu dibilang ribet tapi berbagai upakara yg dilakukan adalah adat dan tradisi daerah masing". Yg bilang ribet itu berarti mejelekkan adat tradisinya sendiri karena hindu itu sebenarnya sangat" simple. Maaf kalau ada yg kurang pas _/\_
ReplyDeleteSaya Hindhu menetap Bali garis keturunan dari Hyang Beradah Jawa Kediri, berpindahnya sebagian leluhur Jawa ke Bali bersama para abdinya. Tidak terlepas adanya pemaksaan keperyaan baru yang polanya jauh dr kepercayaan (kearifan lokal /hindu jawa) yang ada jauh sebelumnya. candi candi peninggalan SiwaBudha yang memenuhi areal tanah jawa membuktikan masyarakat hindu/budha di jawa memang benar pernah mencapai jaman kejayaan. Banyak para ahli di kuar negeri telah menulis tentang nusantara yang makmur. Dan lebih hebatnya lagi ditulis bahwa raja raja di Jawa titisan Tuhan ,mungkin dilihat dr prilaku raja sangat mengayomi rakyat untuk hidup bahagia bersama itulah inti Hindu, damai di hati,damai di dunia dan nantinya damai di ahkirat @kedaton sarenpuseh samsam
ReplyDeleteMaaf�� kalau menurut saya jika ingin kembali ke ajaran leluhur yang dahaulu tidak masalah.dan gak perlu takut.kami di bali selalu mengingat leluhur kita darimana asalnya darimana budaya kita bagaimana tradisi kita bagaimana itu selalu di lestarikan di ingat samapai kapanpun.kita gak lupa leluhur kita berasal dari jawa pindah ke bali waktu jaman majapahit ke bali dsn menetap di bali.makanya kita di bali di setiap rumah ada yang namanya pura keluarga pura leluhur bukan pura umum.khusus untuk berbakti keapa leluhur.kalau pura yang umum itu untuk semua memuja ida sanghyang widhi.makanya di bali ada upacara atau rahinan sugian jawa.dan sugian bali.sugian jawa sembahyang dan mengingat leluhur kita.sugian bali sembhayang dan mengingat tempat tanah dimana kita di lahirkan walaupun asalnya dulu dari jawa.makanya orang bali gak akan pernah lupa asal usulnya dari mana trah keturunan darimana selalu di ingat.semoga semua kembali ke hindu suksm��
ReplyDeleteMaaf�� kalau menurut saya jika ingin kembali ke ajaran leluhur yang dahaulu tidak masalah.dan gak perlu takut.kami di bali selalu mengingat leluhur kita darimana asalnya darimana budaya kita bagaimana tradisi kita bagaimana itu selalu di lestarikan di ingat samapai kapanpun.kita gak lupa leluhur kita berasal dari jawa pindah ke bali waktu jaman majapahit ke bali dsn menetap di bali.makanya kita di bali di setiap rumah ada yang namanya pura keluarga pura leluhur bukan pura umum.khusus untuk berbakti keapa leluhur.kalau pura yang umum itu untuk semua memuja ida sanghyang widhi.makanya di bali ada upacara atau rahinan sugian jawa.dan sugian bali.sugian jawa sembahyang dan mengingat leluhur kita.sugian bali sembhayang dan mengingat tempat tanah dimana kita di lahirkan walaupun asalnya dulu dari jawa.makanya orang bali gak akan pernah lupa asal usulnya dari mana trah keturunan darimana selalu di ingat.semoga semua kembali ke hindu suksm��
ReplyDeleteSaya Ingin Masuk Hindu Posisi Saya Di Kab.Kebumen Jawa Tengah,,.. Mohon Recomendasi Wilayah Yg Jangkauan Terdekat,,. Terimakasih
ReplyDelete