I GN Nitya Santhiarsa
“Bekerjalah demi kewajibanmu, bukan demi hasil perbuatan itu, jangan
sekali pahala menjadi motifmu dalam bekerja, jangan pula hanya berdiam
diri tidak bekerja”-Bhagawadgita II.47
“Bekerjalah seperti apa yang telah ditentukan, sebab bekerja lebih baik
daripada tidak bekerja, dan bahkan tubuh pun tidak berhasil terpelihara
jika tanpa bekerja”-Bhagawadgita III.8
“Seperti orang bodoh yang bekerja karena keterikatan atas kerja
mereka, demikianlah orang yang pandai bekerja tanpa kepentingan pribadi
(tanpa pamrih) dan bekerja untuk kesejahteraan manusia dan memelihara
ketertiban sosial “Bhagawadgita III-25
”Mereka mempersembahkan semua kerjanya kepada Brahman dan, bekerja tanpa
motif keinginan apa-apa, mereka tak terjamah oleh dosa, laksana daun
teratai tak basah oleh air” Bhagawadgita V-10
Keempat sloka suci di atas menjadi prinsip dasar ajaran Karma Yoga atau
bekerja menurut Hindu, yakni bagaimana umat Hindu menjalani hidup yang
semestinya dan memenuhi segala kebutuhan hidupnya agar hidup di dunia
secara sejahtera (jagadhita) dan menikmati kebahagiaan. Kegiatan pokok
manusia selama hidupnya adalah beristirahat (termasuk tidur) dan
bekerja (bekerja dalam hal ini meliputi berbagai aktifitas seperti
beribadah, belajar, dan berusaha), dimana pada umumnya sepertiga waktu
untuk istirahat dan duapertiganya untuk bekerja.
Bagi umat Hindu, bekerja adalah kewajiban (swadharma), bekerja adalah
suatu keharusan, baik itu karena memang perintah dari Tuhan maupun
karena tuntutan untuk kelangsungan hidup di dunia. Jika ada yang
menghindari bekerja padahal dia sanggup misalnya menjadi pengangguran
atau hidup bermalas-malasan berarti dia berkhianat kepada perintah Tuhan
dan menelantarkan potensi dirinya, sehingga menjadi manusia yang
membebani lingkungannya. Lebih parahnya lagi, hidup menganggur dan malas
merupakan pintu gerbang menuju kejahatan, kenapa demikian? Itu karena
pikiran orang yang menganggur mudah dirasuki oleh kekuatan sadripu dan
saptatimira sehingga tidak mampu lagi mengendalikan hawa nafsu serta
mudah tergoda melakukan kejahatan.
Lebih jelas lagi, sesuai dengan keempat sloka di atas, bekerja yang
diwajibkan adalah: pertama, bekerja untuk Tuhan, bekerja adalah ibadah,
dan bekerja adalah suatu persembahan kepada Tuhan; kedua, bekerja tanpa
pamrih atau bekerja tanpa kepentingan pribadi; dan ketiga, bekerja tidak
terikat pada hasil kerja dan pahala; kemudian, keempat, bekerja untuk
kesejahteraan manusia dan memelihara ketertiban sosial. Jadi ada empat
macam prinsip bekerja yang diwajibkan dalam ajaran Hindu, dimana empat
prinsip ini merupakan satu kesatuan, tidak dapat dipisahkan.
Mari kita bahas satu persatu, pertama, bekerja untuk Tuhan, atau bekerja
sebagai persembahan kepada Tuhan. Yang dimaksud dengan ini adalah
bekerja sungguh-sungguh dengan sebaik-baiknya dan dengan seluruh
kemampuan seperti halnya kerja seorang maestro menghasilkan karya
masterpiece atau monumental, karena Tuhan adalah Maha Baik yang hanya
menerima persembahan yang baik dan benar. Bekerja adalah bagian dari
beribadah, seperti sembahyang, bekerja adalah kewajiban setiap manusia,
bahkan bekerja adalah upaya memenuhi panggilan Tuhan dan menjalankan
perintah dan kehendak-Nya. Meskipun sibuk dan fokus pada pekerjaan namun
tidak pernah lupa kepada Tuhan, seperti ditunjukkan dengan sebelum dan
sesudah bekerja selalu ingat mengucapkan doa permohonan dan puji
syukur.
Bekerja tanpa pamrih, bekerja seperti ini sama seperti di atas, yaitu
sebagai konskuensi kerja merupakan bentuk persembahan kepada Tuhan,
seperti halnya melakukan yajna maka bekerja harus didasarkan niat yang
tulus ikhlas, tanpa pamrih, tidak merasa terpaksa, namun karena memang
senang melakukannya, sesuai dengan keahlian dan kemampuan, serta
menyadari manfaat pekerjaannya baik bagi dirinya maupun orang lain.
Bekerja tanpa kepentingan pribadi maksudnya bekerja bukan karena
dorongan hawa nafsu dan egoisme semata namun untuk menjaga martabat
atau harga diri serta untuk memperoleh eksistensi diri karena
dibutuhkan oleh orang banyak.
Bekerja tanpa terikat pahala, hal ini juga kosekuensi dari kerja sebagai
persembahan kepada Tuhan, maka kita sadar bahwa Tuhan itu Maha Tahu dan
Maha Kasih, Beliau pasti membalas perbuatan baik dengan pahala baik
yang berlimpah, dan membalas perbuatan jahat dengan hukuman yang
setimpal, mekanisme ini sudah merupakan kepastian dimana mekanisme ini
disebut dengan hukum karmapala. Sadar dan meyakini tentang hal ini, maka
setiap orang tidak usah terlalu sibuk memikirkan atau berhitung pahala
sebagai hasil bekerja, misalnya selalu berpikir untung rugi dalam
melakukan perbuatan baik, dalam berbisnis. Model berpikir ini tepat,
namun kurang tepat jika diterapkan dalam relasi sosial dan kemanusiaan.
Setiap manusia diharapkan menggunakan logika, rasa dan kebijaksanaan
dalam menyelesaikan suatu urusan.
Selanjutnya, bekerja untuk kesejahteraan semua (sarvodaya menurut versi
Gandhi), di atas sudah disebutkan bekerja bukan untuk kepentingan
pribadi, jadi buat kepentingan siapa? Jawabannya jelas, bekerja untuk
kepentingan semua, kepentingan bersama, kepentingan umum, kepentingan
rakyat, kepentingan kemanusiaan dan tentunya kepentingan Dharma. Mengapa
demikian? Itu karena keadilan, ketertiban dan kedamaian sangat lekat
dengan kebersamaan, kesetaraan, keseluruhan, dan kemanusiaan, dimana
keadilan, ketertiban dan kedamaian adalah kondisi idaman setiap orang
dan kesejahteraan dan kebahagiaan hanya dapat terwujud dimana keadilan,
ketertiban dan kedamaian tercipta terlebih dulu. Inilah hubungan bekerja
tanpa kepentingan pribadi dan bekerja untuk kesejahtraan semua.
Kepentingan pribadi tidak selalu sejalan dengan kepentingan semua, jadi
kepentingan pribadi bisa jadi suatu saat merusak upaya untuk mewujudkan
kesejahteraan dan kebahagiaan.
Umat Hindu di Bali terutama yang menjalankan Karma Marga Yoga sekarang
ini mengalami persoalan dilematis akibat perubahan pola masyarakat, dari
masyarakat agraris menuju masyarakat industri, yaitu terkait dengan
persoalan manajemen waktu dan manajemen keuangan. Pada masyarakat yang
agraris, umumnya waktu kerja seragam mengikuti pola kerja atau musim,
teratur dan porsinya lebih kecil dibandingkan waktu istirahat. Kita
lihat waktu kerja kaum petani, mereka bekerja di siang hari, waktu kerja
teratur berulang dengan pola yang sama serta fleksibel penerapannya,
rata-rata mereka bekerja sekitar 8-10 jam perhari. Jadi hanya sepertiga
waktu harian dan sisanya adalah waktu untuk istirahat yang dapat
digunakan untuk beribadah, kegiatan sosial dan urusan keluarga.
Sedangkan pada masyarakat industri, waktu kerja lebih ketat dan tepat
waktu, waktu kerja lebih bervariasi bisa siang bisa malam, bahkan waktu
libur pun menjadi waktu kerja, serta waktu kerja per hari meningkat
tajam menjadi dua pertiga bagian dan sisanya untuk istirahat. Jadi
porsinya terbalik, waktu kerja porsinya lebih besar dari waktu
istirahat.
Kebudayaan Bali berkembang karena waktu luang yang cukup tersedia dalam
pola masyarakat agraris, dan ketika memasuki era industri terjadi
guncangan (shock) pada tradisi atau kebiasaan orang Bali dalam bekerja
maupun dalam beribadah. Selama ini ada kesan di kalangan orang non Bali
bahwa di Bali itu banyak libur, karena orang Bali mengikuti dua sistem
kalender sekaligus yaitu kalender nasional dan kalender Bali. Kalender
nasional memiliki waktu libur demikian kalender Bali memiliki waktu
libur sehingga jumlah waktu libur di Bali lebih banyak dibandingkan
waktu libur nasional. Belum lagi permohonan ijin tidak masuk kerja
karena melakukan kegiatan yajna dan ada undangan menghadiri karya yajna.
Untuk meluruskan pandangan miring ini, maka orang Bali harus segera
mengamalkan ajaran Karma Yoga di atas, karena ajaran ini sangat adaptif
baik dengan pola masyarakat agraris maupun masyarakat industri. Kata
kuncinya adalah bekerja (sesuai ajaran karma yoga) adalah beribadah. Ini
mampu menghilangkan dualisme yang bertentangan antara bekerja dan
beribadah. Selama ini kebanyakan orang Bali memisahkan antara
kepentingan kerja dan kepentingan beribadah, sehingga alokasi waktupun
dibuat berbeda, padahal bisa disinergikan menjadi satu kesatuan.
Untuk masalah ritual yajna, berusahalah mengatur waktu keduanya, mungkin
sulit mengatur waktu kerja, sehingga aturlah waktu upacara yajna agar
dilaksanakan di luar jam kerja dengan berpatokan pada padewasan (hari
baik) yang diyakini. Demikian juga pelaksanaannya diusahakan singkat
dan padat asalkan sesuai dengan tatwa, susila dan tradisi yang ada. Jadi
berusahalah seminimal mungkin minta ijin tidak bekerja berkaitan dengan
ritual yajna.
Kemudian tentang manajemen uang, biaya hidup makin lama makin mahal,
sedangkan uang makin sulit didapatkan, maka persaingan semakin meningkat
dan banyak orang akhirnya menjadi kecanduan kerja. Di samping itu
menyebabkan banyak orang bersikap pragmatis, bekerja demi uang atau
ujung-ujungnya duit. Jarang ada orang yang mau kerja gotong royong,
kerja sosial atau ngayah , semua diukur dengan uang, semua bantuan ada
upahnya, lebih parahnya makin banyak orang yang tidak peduli bagaimana
cara mendapatkan uang yang halal, tidak peduli lagi sumber uang
darimana, apakah dari perbuatan yang baik atau dari hasil kejahatan,
yang penting dapat uang banyak! Kemudian, uang yang diperoleh ternyata
cukup banyak dibelanjakan untuk gaya hidup konsumtif, pamer kemewahan
dan bahkan untuk kegiatan negatif seperti mabuk-mabukan, prostitusi dan
konsumsi narkoba. Fenomena ini adalah cikal bakal rusaknya moral
masyarakat secara luas dan masiv, sukar sekali memperbaiki kondisi
masyarakat yang seperti ini! Untuk mengatasi hal ini carilah pekerjaaan
yang halal, hendaknya uang dikelola dengan bijak, hiduplah sederhana dan
hemat sekaligus penuh kasih dan dermawan, sehingga harta milik terjaga
dan berkembang dengan baik. Om, Namo Siva Budha ya namah swaha!
(I GN Nitya Santhiarsa, Ketua Forum Peduli Dharma, staf dosen Universitas Udayana).
Read More...